Langsung ke konten utama

Pemikiran Neo Sufisme

PEMIKIRAN NEO SUFISME
Oleh: Elvan Tedio Fawaz
Program Studi Aqidah Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Di Indonesia, Hamka telah mengemukakan istilah tasawuf modern yang digagasnya dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku Hamka tersebut tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali dengan tasawuf modern, kecuali dalam hal “uzlah” . Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar khultah dalam mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan kali ini kami akan sedikit menguraikan tentang tasawuf Neo Sufisme.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Neo Sufisme?
2. Bagaimana ragam dan perkembangan Neo Sufisme?
3. Siapa tokoh Neo Sufisme?
C. Tujuan Penulis
1. Mengerti dan memahami Neo Sufisme
2. Mengetahui dan memahami ragam dan perkembangan Neo Sufisme
3. Mengetahui dan memahamitokoh Neo Sufisme



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Neo sufisme
Menurut terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni oleh Almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam”. Menurut Rahman, neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, menekankan dan memperbaharui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dan aktivitas dalam tasawuf, memfokuskan pada perhatian terhadap rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim. Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “Reformed sufism” yang maknanya adalah sufisme yang telah diperbaharui. Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “Puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahli Hadis. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah swt.Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis. Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi. Uzlah menunjukkan arti menyingkir atau bergeser.Atau bisa juga mengasingkan dan menjauhkan diri.Kata Uzlah ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki makna yang berbeda-beda, yaitu antara makna mengasingkan secara mutlak dan sebagian, dan antara uzlah yang bersifat jasmani dan maknawi.Jadi dapat dijelaskan secara umum bahwa uzlah yaitu menghindari sesuatu baik berbentuk tindakan atau sekedar berlepas tangan, atau dengan cara lain, baik dilakukan secara jasmani ataupun hati. Dasar secara jasmani saja bisa dilihat pada (Q.S. Hud /11 :42) : “Dan Nuh menyeru anaknya sedang anak itu berada di tempat yang terasing” dan Uzlah secara hati dan jasmani adalah pada (Q.S. Maryam /19 :48-49 ) : "Dan aku akan mengasingkan diri dari kalian dan dari apa yang kalian seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku, Maka ketika Ibrahim sudah mengasingkan diri dari mereka dan dari peribadatan mereka selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq danYa’kub’’. B. Ragam dan Perkembangan Neo Sufisme 1. Perkembangan Sejak akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan masyarakat dunia Islam.Sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagaman para zahid (meninggalkan urusan dunia) dan ‘abid(penghambaan/penyerahan diri kepada Tuhan). Fase pertama ini disebut fase zahid/asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai munculnya individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat untuk beribadah dan mengabaikan kehidupan duniawi. Anyak pengamat sufisme berpendapat bahwa sufi atau sufisme diidentikkan dengan sekelompok kaum muhajirin yang bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dzar al Ghiffari. Mereka menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhd terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah.Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebutkan tasawuf atau sufisme. Fase ini berlangsung sampai akhir abad II H. Memasuki abad III Hijriah, ditandai dengan peralihan dari asketisme ke sufisme, ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Pada fase kedua ini topik pemikiran/pembicaraan para zahid sudah meningkat ke persoalan bagaimana jiwa yang bersih, apa itu moralitas dan pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya. Pada fase ini muncul konsepsi tentang jenjang yang harus ditempuh sufi ( al-maqomat : zuhud-makrifat-mahabbah-wahdat al-wujud ) .serta ciri-ciri yang dimiliki orang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu. Masa ini juga timbul pemikir tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (wafat 243 H), al-Harraj (wafat 277 H), al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H) dan penulis lainnya. . Secara konseptual-tekstual lahirnya sufisme adalah pada fase ini, sedangkan sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan. Sejak itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan. Kepesatan perkembangan sufisme, memperoleh dorongan setidaknya karena 3 faktor, antara lain : a. Karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik (daya tarik keduniawian yang semu) dan corak kehidupan materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa negeri yang menjalar ke kalangan masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya kehidupan sekular dari kelompok elit dinasti penguasa. Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap radikalisme (sikap membangkang) kaum khawarij dan segala pengaruh yang timbul akibat kondisi itu. Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah, keakraban cinta sesama, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap tersebut melahirkan ‘uzlah yang cenderung ekslusif, memilih kehidupan rohaniah-mistis, mencari kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrowi di medan duniawi.

B. Faktor kodifikasi hukum Islam (fiqIh) dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga menyebabkan nilai spiritualnya menjadi semacam wacana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin mengeringkan dan menyesakkan hati yang berakibat putusnya komunikasi langsung dan suasana keakraban antara hamba dan khaliq-Nya. Tujuan akhir sufisme adalah : pertama, pelepasan secara menyeluruh Ireformasi total) segala keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat jahat yang berkenaan dengan keduniawian (fana’an ma’ashi dan baqa al ta’ah); kedua, penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak absolut Tuhan, memandangnya sebagai penggerak utama dari segala kejadian di alam semesta; ketiga, peniadaan kesadaran terhadap diri sendiri serta pemusatan perenungan kepada Tuhan semata. 2. Corak Neo-Sufisme Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme ada;ah“reformed sufism” , sufisme yang telah diperbaharui. Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik- metafisik atau mistis filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan/direform. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan “hampir “ tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”.Ia mengakomodir sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam orthodoks. Tujuan akhir neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. 3. Perbedaan dan Persamaan dengan sufi klasik Sufi klasik/sufisme orthodoks yang dipelopori oleh Al Ghazali (wafat 503 H) awalnya bertujuan membendung invasi berkembanganya teologi sufisme yang menurut pandangan kaum orthodoks dapat merusak sendi-sendi ketauhidan, maka al-Ghazali merumuskan suatu konsepsi yang diharapkan menampung aspirasi kedua belah pihak. Kalau pada kesalehan asketis ( zahid) yang awal dengan penekanannya pada motif esoteris, maka al-Ghazali menampilkan doktrin ma’rifat. Al-ma’rifat dia maksudkan ialah pengetahuan yang diperoleh melalui penjelajahan batin atau eksperimen batin, ma’rifat idisini ialah mengawinkan kebenaran ayariah (lahiriah) dengan kebenaran sufisme (batiniyah) yang disebut hakikat. Dari perjalanan panjang dalam mencari kebenaran, ia sampai pada kesimpulan, kebenaran yang imani tidak mungkin diperoleh melalui pemikiran pilosofis, tetapi hanya melalui kehidupan batiniyah sajalah iman benar-benar dapat diperoleh, dan bahwa sufisme tidak memiliki muatan selain iman dan tauhid. Selanjutnya ia menegaskan bahwa sufisme bukanlah suatu cara untuk memperoleh fakta-fakta ekstra mengenai realita, melainkan cara untuk memandangnya sebagai satu kesatuan. 4. Ajaran/aliran Menurut Fazlur Rahman, perintis apa yang ia sebut sebagai neo-sufisme adalah Ibnu Taimiyah ( w.728.H) yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibnu Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang mengintegrasikan hakikat dengan syariah. Ibnu Taimiyah sering dan tidak segan menyebut kepada kaum sufi sebagai golongan yang tersesat jalan dan bahkan menyerupakan mereka dengan orang kafir dan musyrik, termasuk ketika ia berbicara kepada kalangan awam mereka dan sebagian orang yang menganut paham tasawuf. Walaupun ia mengecualikan sebagaian mereka yang terkenal seperti Junaid, Abu Yazid Busthami, dan Abdul Qadir Jailani. Ia mengkritik mereka yang menyelam terlalu jauh dalam beberapa hal. Sebagai contoh hakikat pertama adalah hakikat kosmos ( al-haqiqah al-kauniyyah), artinya Allah swt adalah pencipta alam semesta ini dan segala isinya, banyak dari mereka yang berbicara tentang hakikat dan penyaksiannya yang hanya menayaksikan hakikat ini, tiada lain. Padahal, penyaksian ini ini bukan hal yang dikhususkan bagi orang yang beriman, tatapi orang kafir juga serta pendurhaka sama-sama bisa mendapatkannya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka menjawab, “Allah”, Bahkan Iblis pun mengakui hakikat ini. Menurutnya barangsiapa berhenti pada hakikat ini dan penyaksiannya, dan tidak menjalankan hakikat agama yang diperintah Allah kepadanya, maka keimanannya kepada Allah dinilai tidak sempurna karena ketidaksempurnaan hakikat agamanya.Ini merupakan masalah besar, banyak orang yang keliru terhadapnya dan banyak pesuluk yang tersesat. Neo-sufisme yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari`at, thariqat danhakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual (berkelanjutan) dan kumulatif antara syari`at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu memahami syari`at secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat adalah semacam sistem eksoteris yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yakni hakikat. Sementara itu, Islam merupakan sebuah agama yang berisi ajaran-ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut (Q.S. al-Anbiya /21:107). Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya. Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M, suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaaan akal. Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ketika istilah modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh para tokoh dan pemikir terkadang istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama dan selaras maksudnya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada masyarakat Islam sekarang. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya jika kita melihat langsung kepada realitas yang terjadi pada umat Islam saat ini.Salah satu realitas yang dapat ditunjukkan adalah bahwa umat Islam saat sekarang merupakan masyarakat yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam berbagai bidang kehidupan.Berbicara tentang peradaban yang maju, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa sebenarnya dengan Islam? Sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini sampai mencari solusinya.Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur karena masih berkutat dengan sistem atau pola-pola tradisional yang ortodoks.Sistem yang dipakai khususnya berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya, karena itu, modernisasi nampaknya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan mampu bertahan dengan berbagai tuntutan zaman yang semakin kompleks. Jika melihat kondisi umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin jelas bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-pola dan tradisi lama. Pemahaman mengenai dogma-dogma yang masih tradisional nampaknya masih terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana dan mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks-terutama teologi ortodoks dan hadis, Ketika kembali ke Indonesia, mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya kemudian kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi dogma-dogma yang tidak akliah (rasional), saya dalam hal ini tidak menyatakan bahwa pola-pola tradisional tersebut buruk dan tidak baik (pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang panjang) namun ada masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat merespon berbagai persoalan zaman yang semakin kompleks. Studi mengenai Islam modern, sebenarnya mencakup fikiran-fikiran, persoalan-persoalan dan gerakan yang timbul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai sekarang masih lebih banyak berkaitan dengan aspek dari material dari kemajuan barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada aspek spiritual dan mentalnya. Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang telah menjadi modern, tapi secara batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara aspek material dengan aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi ini. Mungkin, sebuah contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun Nasution tersebut, bahwa masyarakat Islam khususnya di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima banyak kebenaran.Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja.Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka sudah dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan, cenderung masih sangat rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah” C. Tokoh Neo-Sufisme 1. Nurcholish Madjid Salah satu pemikir Islam yang respon dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid.Pemikiran modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan “rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah kewajiban agama, karena diperintah oleh tuhan. Akan tetapi pemikirannya setelah tahun 1970-an dianggap sebagai momentum lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian pemuda muslim yang sangat radikal dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde baru Indonesia. Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam suatu makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat.” Berdasarkan realitas tersebut, tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa “Cak Nur” masuk kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia.Pemikiran dan gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid merupakan tipe seorang shocker (pembuat kejutan) terhadap gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seolah-olah sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari tempat tidurnya karena terkejut dengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di masa lampau.Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid sebenarnya terletak dalam gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsep-konsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi akan melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, demokrasi dan lain sebagainya. .
















BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Neosufisme merupakan jalan alternatif yang ditawarkan bagi siapa yang ingin menempuh jalan menuju Allah swt. Meskipun “neosufisme” tetap mengandung kontroversi yang panjang hingga kini. Neosufisme bukan barang baru, ia merupakan upaya menghidupkan tradisi sufi model “salafi”, yaitu melakukan praktik sufi di tengah kesibukan duniawi yang sudah dipraktikkan Nabi saw. dan para sahabatnya. Dengan demikian, hemat penulis bukan tidak mungkin bahwa istilah neosufisme juga akan berganti dengan istilah yang lain, yang intinya adalah menghidupkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern atau menjadi manusia modern yang mempraktikkan nilai-nilai tasawuf. Sebab, bukankah dulu Hamka telah menggagas ‘Tasawuf Modern” dan era kini Haidar Bagir menamai dengan “Tasawuf Positif”. Penulis membuat satu hipotesa bahwa neosufisme ini akan terus berkembang dan diminati oleh masyarakat, karena kecendrungan manusia selalu mencari ketenangan batin dan jiwanya dengan tidak harus meninggalkan aktifitas harian mereka. Wallahu a’lam. B. Saran Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak lebih-lebih ibu dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.




DAFTAR PUSTAKA
A.E.Affifi,1989, “A Mystical Philosopy of Muhyiddin Ibn Arabi”, Terj.Syahrir Mawi cs, Jakarta : Gaya Media Pratama. Al Audah ,Salman,2008 ,“Uzlah Jalan Terakhir”, Diterj.Ade Zarkasyi, Solo : Jazera. Hamid ,Sha’ib Abdul,2009, “Ibnu Taimiyah”, Diterj.Irwan Kurniawan, Jakarta:Citra. Hasan,Muhammad Kamal,1970, “Muslim Intelektua Responses To New Order Modernisation In Indonesia”, terj. Ahmadi Thaha, Surabaya : Bina Ilmu. Madjid ,Nurcholish,1970, “dalam Majalah Panji Masyarakat”, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Munawwir ,Ahmad Warson,1997, “Kamus Munawwir Arab-Indonesia”, Surabaya: Pustaka Progressif, Edisi II. Nasution ,Harun,1973, “Falsafat dan Mistisisme dalam Islam”, Jakarta : Bulan Bintang . Nasution ,Harun, 1985,“Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta : UI-Press, Jilid I. Nasution ,Harun,1998, “Islam Rasional”, Bandung : Mizan , Cet. Ke-5. Rahman, Fazlur. 1984. “Islam, terj. Ahsin Muhammad”, Bandung: Pustaka. Rahman ,Fazlur,1985, ”Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektrual”, Bandung : Pustaka. Siregar,Ahmad Rivay ,2000 “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”, Jakarta : Raja Grafindo Persada.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Wawancara

WAWANCARA DALAM METODOLOGI PENELITIAN A.     Pengertian Wawancara. Salah satu metode pengumpulan data adalah dengan jalan wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung dengan responden. Wawancara merupakan bagian terpenting dari setiap survey. Tanpa wawancara peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung engan responden. Yang dimaksud wawancara menurut Nazir (1988) adalah proses memperoleh proses keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan interview guide (panduan wawancara). Menurut kamus besar Indonesia, wawancara adalah Tanya jawab dengan seseorang yang di perlukan untuk di mintai keterangan atau pendapatny mengenai suatu hal. Kemudian menurut Bungin (2007), wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data penelitian dimana dalam pelaksanaannya terjadi proses per...

Komponen-Komponen Dakwah

Komponen-Komponen Dalam Dakwah A.     Pendahuluan Dakwah merupakan suatu system yang penting di dalam gerakan islam. Dakwah dapat di pandang sebagai proses perubahan yang diarahkan dan di rencanakan guna dapat menciptakan atau mencetuskan individu, keluarga, dan masyarakan serta peradaban dunia yang di ridhai oleh Allah S.W.T. Dan di dalam dakwah pun sudah kita katahui sangat erat kaitannya dengan komunikasi, dalam hal ini komunikasi sangatlah penting dalam proses dakwah, dan apabila kita ingin mendapatkan hasil yang bagus dan sempurna dalam berdakwah, maka kita haruslah menguasai cara-cara berkomunikasi denga baik, dari kita menguasai hal-hal tersebut maka kita akan mengetahui bagaimana prosesnya komunikasi dakwah tersebut, dan juga kita akan mengetahui apa sajakah unsur-unsur atau komponen-komponen dalam dakwah. Sebelum membahas pembahasan yang kita tuju ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang persentuhan komunikasi dan dakwah. Aktivitas dakwah dan komun...