PEMIKIRAN NEO SUFISME
Oleh: Elvan Tedio Fawaz
Program Studi Aqidah Filsafat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di
Indonesia, Hamka telah mengemukakan istilah tasawuf modern yang digagasnya
dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku Hamka
tersebut tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, terlihat adanya
kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali dengan tasawuf modern,
kecuali dalam hal “uzlah” . Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam
penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar
khultah dalam mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan kali ini kami akan sedikit menguraikan
tentang tasawuf Neo Sufisme.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud Neo Sufisme?
2.
Bagaimana ragam dan perkembangan Neo Sufisme?
3.
Siapa tokoh Neo Sufisme?
C.
Tujuan Penulis
1.
Mengerti dan memahami Neo Sufisme
2.
Mengetahui dan memahami ragam dan perkembangan Neo Sufisme
3.
Mengetahui dan memahamitokoh Neo Sufisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Neo sufisme
Menurut
terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim
kontemporer, yakni oleh Almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul
“Islam”. Menurut Rahman, neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui,
yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya,
menekankan dan memperbaharui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan
dan aktivitas dalam tasawuf, memfokuskan pada perhatian terhadap rekonstruksi
sosio-moral dari masyarakat muslim. Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah
“Reformed sufism” yang maknanya adalah sufisme yang telah diperbaharui.
Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan
adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru
ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme
mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat
Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir
tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter
keseluruhan neo-sufisme adalah “Puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau
kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan
paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut
Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahli Hadis. Mereka ini coba
untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan
dengan Islam ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir,
muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah swt.Berdasarkan hal tersebut,
didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif
terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan
penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap
keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi
dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan
kehidupan yang kosmologis. Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi
yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi
yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi
al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat. Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah
al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada
konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam
sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat
mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang
menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri.
Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri
termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Uzlah menunjukkan arti menyingkir atau bergeser.Atau bisa juga mengasingkan dan
menjauhkan diri.Kata Uzlah ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki
makna yang berbeda-beda, yaitu antara makna mengasingkan secara mutlak dan
sebagian, dan antara uzlah yang bersifat jasmani dan maknawi.Jadi dapat
dijelaskan secara umum bahwa uzlah yaitu menghindari sesuatu baik berbentuk
tindakan atau sekedar berlepas tangan, atau dengan cara lain, baik dilakukan
secara jasmani ataupun hati. Dasar secara jasmani saja bisa dilihat pada (Q.S.
Hud /11 :42) : “Dan Nuh menyeru anaknya sedang anak itu berada di tempat yang
terasing” dan Uzlah secara hati dan jasmani adalah pada (Q.S. Maryam /19 :48-49
) : "Dan aku akan mengasingkan diri dari kalian dan dari apa yang kalian
seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak
akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku, Maka ketika Ibrahim sudah mengasingkan
diri dari mereka dan dari peribadatan mereka selain Allah, Kami anugerahkan
kepadanya Ishaq danYa’kub’’. B. Ragam dan Perkembangan Neo Sufisme 1.
Perkembangan Sejak akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan
masyarakat dunia Islam.Sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagaman para
zahid (meninggalkan urusan dunia) dan ‘abid(penghambaan/penyerahan diri kepada
Tuhan). Fase pertama ini disebut fase zahid/asketisme yang merupakan bibit awal
tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai munculnya
individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat untuk beribadah dan mengabaikan
kehidupan duniawi. Anyak pengamat sufisme berpendapat bahwa sufi atau sufisme
diidentikkan dengan sekelompok kaum muhajirin yang bertempat tinggal di serambi
Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dzar al Ghiffari. Mereka menempuh
pola hidup yang sangat sederhana, zuhd terhadap dunia dan menghabiskan waktu
beribadah kepada Allah.Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebagian
umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebutkan tasawuf atau sufisme.
Fase ini berlangsung sampai akhir abad II H. Memasuki abad III Hijriah,
ditandai dengan peralihan dari asketisme ke sufisme, ditandai dengan pergantian
sebutan zahid menjadi sufi. Pada fase kedua ini topik pemikiran/pembicaraan para
zahid sudah meningkat ke persoalan bagaimana jiwa yang bersih, apa itu
moralitas dan pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya. Pada
fase ini muncul konsepsi tentang jenjang yang harus ditempuh sufi ( al-maqomat
: zuhud-makrifat-mahabbah-wahdat al-wujud ) .serta ciri-ciri yang dimiliki
orang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu. Masa ini juga timbul pemikir
tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (wafat 243 H), al-Harraj (wafat 277 H),
al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H) dan penulis lainnya. . Secara
konseptual-tekstual lahirnya sufisme adalah pada fase ini, sedangkan sebelumnya
hanya berupa pengetahuan perorangan. Sejak itu sufisme berkembang terus ke arah
penyempurnaan. Kepesatan perkembangan sufisme, memperoleh dorongan setidaknya
karena 3 faktor, antara lain : a. Karena gaya kehidupan yang
glamour-profanistik (daya tarik keduniawian yang semu) dan corak kehidupan
materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa negeri yang
menjalar ke kalangan masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan yang paling kuat
adalah sebagai reaksi terhadap gaya kehidupan sekular dari kelompok elit
dinasti penguasa. Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap
radikalisme (sikap membangkang) kaum khawarij dan segala pengaruh yang timbul
akibat kondisi itu. Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan
orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian
rohaniah, keakraban cinta sesama, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan
masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap tersebut melahirkan
‘uzlah yang cenderung ekslusif, memilih kehidupan rohaniah-mistis, mencari
kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrowi di medan duniawi.
B.
Faktor kodifikasi hukum Islam (fiqIh) dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang
dialektis-rasional, sehingga menyebabkan nilai spiritualnya menjadi semacam
wacana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan
dirasakan semakin mengeringkan dan menyesakkan hati yang berakibat putusnya
komunikasi langsung dan suasana keakraban antara hamba dan khaliq-Nya. Tujuan
akhir sufisme adalah : pertama, pelepasan secara menyeluruh Ireformasi total)
segala keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat jahat yang berkenaan
dengan keduniawian (fana’an ma’ashi dan baqa al ta’ah); kedua, penyerahan diri
sepenuhnya kepada kehendak absolut Tuhan, memandangnya sebagai penggerak utama
dari segala kejadian di alam semesta; ketiga, peniadaan kesadaran terhadap diri
sendiri serta pemusatan perenungan kepada Tuhan semata. 2. Corak Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini, neo-sufisme ada;ah“reformed
sufism” , sufisme yang telah diperbaharui. Kalau pada era kecemerlangan sufisme
terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik- metafisik atau
mistis filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan/direform. Neo-sufisme
mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim,
sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan “hampir “
tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter
keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”.Ia mengakomodir sebanyak
mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam orthodoks.
Tujuan akhir neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman
sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan penilaian terhadap kehidupan
duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. 3. Perbedaan dan Persamaan
dengan sufi klasik Sufi klasik/sufisme orthodoks yang dipelopori oleh Al
Ghazali (wafat 503 H) awalnya bertujuan membendung invasi berkembanganya
teologi sufisme yang menurut pandangan kaum orthodoks dapat merusak sendi-sendi
ketauhidan, maka al-Ghazali merumuskan suatu konsepsi yang diharapkan menampung
aspirasi kedua belah pihak. Kalau pada kesalehan asketis ( zahid) yang awal
dengan penekanannya pada motif esoteris, maka al-Ghazali menampilkan doktrin
ma’rifat. Al-ma’rifat dia maksudkan ialah pengetahuan yang diperoleh melalui
penjelajahan batin atau eksperimen batin, ma’rifat idisini ialah mengawinkan
kebenaran ayariah (lahiriah) dengan kebenaran sufisme (batiniyah) yang disebut
hakikat. Dari perjalanan panjang dalam mencari kebenaran, ia sampai pada
kesimpulan, kebenaran yang imani tidak mungkin diperoleh melalui pemikiran
pilosofis, tetapi hanya melalui kehidupan batiniyah sajalah iman benar-benar
dapat diperoleh, dan bahwa sufisme tidak memiliki muatan selain iman dan
tauhid. Selanjutnya ia menegaskan bahwa sufisme bukanlah suatu cara untuk
memperoleh fakta-fakta ekstra mengenai realita, melainkan cara untuk
memandangnya sebagai satu kesatuan. 4. Ajaran/aliran Menurut Fazlur Rahman,
perintis apa yang ia sebut sebagai neo-sufisme adalah Ibnu Taimiyah ( w.728.H)
yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibnu Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang
mengintegrasikan hakikat dengan syariah. Ibnu Taimiyah sering dan tidak segan
menyebut kepada kaum sufi sebagai golongan yang tersesat jalan dan bahkan menyerupakan
mereka dengan orang kafir dan musyrik, termasuk ketika ia berbicara kepada
kalangan awam mereka dan sebagian orang yang menganut paham tasawuf. Walaupun
ia mengecualikan sebagaian mereka yang terkenal seperti Junaid, Abu Yazid
Busthami, dan Abdul Qadir Jailani. Ia mengkritik mereka yang menyelam terlalu
jauh dalam beberapa hal. Sebagai contoh hakikat pertama adalah hakikat kosmos (
al-haqiqah al-kauniyyah), artinya Allah swt adalah pencipta alam semesta ini
dan segala isinya, banyak dari mereka yang berbicara tentang hakikat dan
penyaksiannya yang hanya menayaksikan hakikat ini, tiada lain. Padahal,
penyaksian ini ini bukan hal yang dikhususkan bagi orang yang beriman, tatapi
orang kafir juga serta pendurhaka sama-sama bisa mendapatkannya, “Dan sesungguhnya
jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka menjawab, “Allah”, Bahkan Iblis
pun mengakui hakikat ini. Menurutnya barangsiapa berhenti pada hakikat ini dan
penyaksiannya, dan tidak menjalankan hakikat agama yang diperintah Allah
kepadanya, maka keimanannya kepada Allah dinilai tidak sempurna karena
ketidaksempurnaan hakikat agamanya.Ini merupakan masalah besar, banyak orang
yang keliru terhadapnya dan banyak pesuluk yang tersesat. Neo-sufisme yang
merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme
ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang
dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari`at, thariqat
danhakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus
melalui proses gradual (berkelanjutan) dan kumulatif antara syari`at dan
sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu memahami syari`at
secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat adalah
semacam sistem eksoteris yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi,
yakni hakikat. Sementara itu, Islam merupakan sebuah agama yang berisi
ajaran-ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad
SAW yang diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut (Q.S. al-Anbiya /21:107).
Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak
Allah SWT atas segala kehendaknya. Istilah modernisasi, seperti beberapa kata
lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk kedalam bahasa
Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul
antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M, suatu masa yang terkenal dalam sejarah
Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaaan akal.
Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang
berusaha mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya,
agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang
ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ketika istilah
modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh
para tokoh dan pemikir terkadang istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi
Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk
lainnya. Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut sebenarnya mempunyai makna
yang sama dan selaras maksudnya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini
merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir
Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada masyarakat Islam
sekarang. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya jika kita
melihat langsung kepada realitas yang terjadi pada umat Islam saat ini.Salah
satu realitas yang dapat ditunjukkan adalah bahwa umat Islam saat sekarang
merupakan masyarakat yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa)
dalam berbagai bidang kehidupan.Berbicara tentang peradaban yang maju,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa
sebenarnya dengan Islam? Sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan
dahinya untuk memikirkan hal ini sampai mencari solusinya.Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa umat Islam mundur karena masih berkutat dengan sistem atau
pola-pola tradisional yang ortodoks.Sistem yang dipakai khususnya berkaitan
dengan pemahaman keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak
relevan lagi dengan kebutuhan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya,
karena itu, modernisasi nampaknya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim
untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan mampu
bertahan dengan berbagai tuntutan zaman yang semakin kompleks. Jika melihat
kondisi umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin jelas bahwa
sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-pola dan tradisi
lama. Pemahaman mengenai dogma-dogma yang masih tradisional nampaknya masih
terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya
mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal
bertahun-tahun di sana dan mengembangkan intelektualisme Islam
ortodoks-terutama teologi ortodoks dan hadis, Ketika kembali ke Indonesia,
mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi
sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya kemudian kembali ke
masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi
dogma-dogma yang tidak akliah (rasional), saya dalam hal ini tidak menyatakan
bahwa pola-pola tradisional tersebut buruk dan tidak baik (pemikiran-pemikiran
yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan
dalam kurun waktu yang panjang) namun ada masanya di mana paham-paham (pendapat)
klasik tersebut tidak dapat merespon berbagai persoalan zaman yang semakin
kompleks. Studi mengenai Islam modern, sebenarnya mencakup fikiran-fikiran,
persoalan-persoalan dan gerakan yang timbul di dunia Islam modern sebagai
akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun
Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai
sekarang masih lebih banyak berkaitan dengan aspek dari material dari kemajuan
barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari
pada aspek spiritual dan mentalnya. Jadi secara lahiriah umat Islam saat
sekarang telah menjadi modern, tapi secara batiniah atau mental masih banyak
yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara aspek material dengan
aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi ini. Mungkin, sebuah contoh yang
bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun Nasution tersebut, bahwa
masyarakat Islam khususnya di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima
banyak kebenaran.Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja.Apabila berbeda
dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka sudah dianggap salah
dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi
masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan, cenderung
masih sangat rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah” C.
Tokoh Neo-Sufisme 1. Nurcholish Madjid Salah satu pemikir Islam yang respon
dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid.Pemikiran modern Nurcholish Madjid
sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan
“rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah
keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah
kewajiban agama, karena diperintah oleh tuhan. Akan tetapi pemikirannya setelah
tahun 1970-an dianggap sebagai momentum lahirnya gerakan pembaharuan pada
sebagian pemuda muslim yang sangat radikal dalam pemikiran regio-politik Islam
di masa orde baru Indonesia. Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal
pertama kali dalam suatu makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di
Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan
pemikiran Islam dan masalah integrasi umat.” Berdasarkan realitas tersebut, tak
sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa “Cak Nur” masuk
kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia.Pemikiran dan
gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam
istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid merupakan tipe seorang shocker
(pembuat kejutan) terhadap gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat
Islam seolah-olah sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari
tempat tidurnya karena terkejut dengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya
saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina
yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya. Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir
modernis Islam di masa lampau.Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam
pergulatan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid sebenarnya
terletak dalam gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme
agama. Jika konsep-konsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan
buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi
akan melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti
rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, demokrasi dan lain sebagainya. .
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Neosufisme
merupakan jalan alternatif yang ditawarkan bagi siapa yang ingin menempuh jalan
menuju Allah swt. Meskipun “neosufisme” tetap mengandung kontroversi yang
panjang hingga kini. Neosufisme bukan barang baru, ia merupakan upaya
menghidupkan tradisi sufi model “salafi”, yaitu melakukan praktik sufi di
tengah kesibukan duniawi yang sudah dipraktikkan Nabi saw. dan para sahabatnya.
Dengan demikian, hemat penulis bukan tidak mungkin bahwa istilah neosufisme
juga akan berganti dengan istilah yang lain, yang intinya adalah menghidupkan
nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern atau menjadi manusia modern yang
mempraktikkan nilai-nilai tasawuf. Sebab, bukankah dulu Hamka telah menggagas
‘Tasawuf Modern” dan era kini Haidar Bagir menamai dengan “Tasawuf Positif”.
Penulis membuat satu hipotesa bahwa neosufisme ini akan terus berkembang dan
diminati oleh masyarakat, karena kecendrungan manusia selalu mencari ketenangan
batin dan jiwanya dengan tidak harus meninggalkan aktifitas harian mereka.
Wallahu a’lam. B. Saran Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini.
Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan
kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah
semua pihak lebih-lebih ibu dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada
kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
A.E.Affifi,1989,
“A Mystical Philosopy of Muhyiddin Ibn Arabi”, Terj.Syahrir Mawi cs, Jakarta :
Gaya Media Pratama. Al Audah ,Salman,2008 ,“Uzlah Jalan Terakhir”, Diterj.Ade
Zarkasyi, Solo : Jazera. Hamid ,Sha’ib Abdul,2009, “Ibnu Taimiyah”,
Diterj.Irwan Kurniawan, Jakarta:Citra. Hasan,Muhammad Kamal,1970, “Muslim
Intelektua Responses To New Order Modernisation In Indonesia”, terj. Ahmadi
Thaha, Surabaya : Bina Ilmu. Madjid ,Nurcholish,1970, “dalam Majalah Panji
Masyarakat”, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Munawwir ,Ahmad Warson,1997,
“Kamus Munawwir Arab-Indonesia”, Surabaya: Pustaka Progressif, Edisi II.
Nasution ,Harun,1973, “Falsafat dan Mistisisme dalam Islam”, Jakarta : Bulan
Bintang . Nasution ,Harun, 1985,“Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”,
Jakarta : UI-Press, Jilid I. Nasution ,Harun,1998, “Islam Rasional”, Bandung :
Mizan , Cet. Ke-5. Rahman, Fazlur. 1984. “Islam, terj. Ahsin Muhammad”,
Bandung: Pustaka. Rahman ,Fazlur,1985, ”Islam dan Modernitas tentang
Transformasi Intelektrual”, Bandung : Pustaka. Siregar,Ahmad Rivay ,2000 “Dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar