Interpretasi Budaya Clifford Geertz
Elvan Tedio Fawaz[1]
Abstrak
Budaya itu lahir karena manusia melakukan
hal-hal dari ide-ide mereka, perilaku dan nilai-nilai. Akibatnya, memahami dan menggambarkan budaya hidup tidak dapat
dipisahkan dengan tindakan manusia yang terlibat. Dan
Agama adalah salah satu dari mereka. Clifford Geertz, seorang antropolog
Amerika, membuat review detail pada
konsep agama dan budaya
dengan menggunakan metode deskripsi tebal. Geertz menyatakan bahwa "analisis
budaya bukan ilmu eksperimental mencari nilai-nilai, melainkan ilmu
interpretatif mencari makna" dua esai teoritis Nya terkenal. pertama, menggambarkan
antropologi interpretatif secara umum; kedua, menggambarkannya secara khusus
terutama dalam bidang agama. Dan untuk memulai, Geertz menggunakan pendekatan tersebut dalam studinya pada budaya
dan agama.
Pendahuluan
Tradisi
Antropologi pada masa lalu dipandang sebagai disiplin ilmu dengan luas nya
kemampuan untuk generalisasi dan menjelaskan apa saja yang dilakukan oleh
manusia dan masyarakatnya. Tradisi tersebut di bangun atas dasar keinginan
untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan ilmu
pengetahuan dengan memahami budaya dengan model pendekatan penjelasan perilaku (explanation
of behaviour). Cliffordz Geertz merasa bahwa tendensi tersebut tidak dapat
di jelaskan manusia secara utuh. Dia juga menganggap bahwa secara konseptual
tujuan serta metode ilmu-ilmu social traditional tersebut salah. Ide tentang
kebudayaan tidak bisa diperlakukan semacam hukum gravitasi untuk bidang
humaniora dengan daya penjelas tentang apa saja yang hendak di usahakan,
dibayangkan, dikatakan atau dipercayainnya. Seandainya digunakan dengan teori
seperti yang di gunakan para ilmuwan sains, maka tidak akan bisa mendapatkan
sesuatu dari manusia, karena manusia hidup dalam suatu system yang complicated yang di sebut budaya.
Model pendekatan tersebut menurut Geertz lebih sesuai diterapkan untuk
penelitian saintis semisal meneliti sekelompok ikan atau lebah.[2]
Terobosan
yang dilkukan Geertz adalah membangun analisis-analisis atas ketidak
setujuannya terhadap teori social masa lalu. Perhatian utamannya adalah untuk
menekankan pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok dalam ilmu
Antropologi maupun ilmu social yang lain. Geertz menegaskan bahwa kegiatan
budaya manusia merupakan hal yang luar biasa dan sangat khas. Maka yang
teerpenting dalam memahami budaya tersebut adalah menggunakan pendekatan
“interpretasi budaya”.[3]
Biografi
Clifford
Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23
Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali
melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang
ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang
antropologi.
Karir
Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut Amerika
selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima
gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950[4]. Dari
Antioch ia melanjutkan studi antropolgi diHarvard University.
Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke
Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat
multiagama, multiras yang kompleks di sebuah kota kecil –Mojokuto.
Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor
dari Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi
dalam antropologi[5].
Setelah itu dia melekukan riset berikunya di Bali dan di Komunitas Muslim
Maroko, dan ia menyelesaikan rise tersebut pada tahun 1958. Pada waktu itu dia
menjadi satu-satunya ilmuwan antropologi yang bergelar Profesor. Karya-karyanya
antara lain : The Religion of Java, Agricultural Involution, The Social
History of an Indonesian Town, Islam Observed, The Interpretation of Cultures,
Local Knowledge, dan masih banyak tulisan-tulisan lain baik dalam bentuk
buku maupun artikel[6]
. Pada tahun 2006, Geertz meninggal dunia di Philadelphia dalam usia 80 tahun.
Dia meninggalkan banyak sekali karya yang teori-teorinya bisa menjadi rujukan,
tidak hanya kalangan antropolog, tapi juga ilmuwan humaniora pada umumnya.
Latar
belakang Pemikiran
Pendekatan
Geertz terhadap agama bisa dilihat dari dua sisi, sisi etnografi dan sisi
teoritis. Dan semua itu akan tampak jelas
dengan memperhatikan latar belakang pendidikan antropologinya, yakni Harvard
University. Melihat latar belakang pendidikan Geertz di bidang
antropologinya ini, tampaknya ide agama dan budaya Geertz berkembang di bawah
dua pengaruh utama, yaitu tradisi antroplogi Amerika yang independen dan kuat,
dan perspektif tentang ilmu sosial yang ia jumpai saat belajar di Harvard
dibawah teoritisi terkemuka, Talcott Parsons[7].
Dalam tradisi antropologi Amerika[8], ditegaskan
bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “partikular” yang teliti, yaitu
suatu studi yang berpusat pada satu komunitas dan mungkin memakan waktu
bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya. Disamping
kerja lapangan, para perintis antropologi Amerika juga memberi tekanan pada
“budaya” sebagai unit kunci studi antropologi. Mereka menegaskan bahwa di dalam
studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti sebuah masyarakat, tetapi juga suatu
sistem ide, adat istiadat, sikap, simbol, dan institusi yang lebih luas dimana
masyarakat hanyalah suatu bagian. Dan saat mahasiswa, tentu saja Geertz telah
menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis antropologi Amerika seperti
Boas, Kroeber, Lowie dan Benedict kedalam perspektif antropologinya[9].
Adapun
terhadap perspektif ilmu sosial, tampaknya Talcott Parsons –gurunya di Harvard-
telah bertindak sebagai penyalur ide-ide Weber kepada Geertz[10]. Parson
ini merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat
terpengaruh oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang
telah menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara
agama dan masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya Weber
serta menjelaskan ide-ide pokoknya. Dari Parson ini, Geertz diperkenalkan dengan
ide-ide Weber, terutama tentang pandangan Max Weber bahwa manusia adalah
makhluk yang terjebak dalam jejaring (web) makna yang mereka
buat sendiri, maka budaya adalah jejaring itu. Dari pandangan ini, Geertz
kemudian mencoba mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern
of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam
simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan
memandang kehidupan. Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami
dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme tetapi
juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta
berbagai komponen yang turut membentuk jaringan makna dimana aktor tersebut
merupakan bagian tak terpisahkan dari komunitasnya. Bertolak dari
pemikiran seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian analisis Geertz
tentang kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti
di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian intepretatif untuk mencari makna(meaning).
Dibawah
pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi antropologi Amerika ini,
Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi simbol-simbol yang
diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan masyarakat. Namun begitu,
tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima teori-teori dari para pendahulunya
secara taken for granted, dimana dia ternyata mencoba menyimpang
dari tradisi antropologi sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada
kelompok suku, atau pemukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani
atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang[11]. Sebaliknya,
Geertz justru lebih tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang
berbeda bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang
detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.
Geertz
mengupas lebih detail tentang konsep agama dan budaya dengan metode Thick
Description[12]
atau “deskripsi mendalam” sebagai mana yang digambarkan oleh antropolog
inggis Gilbert Ryle[13].
Bahwa meskipun budaya cenderung memiliki berbagi arti dari para antropolg,
namun kata kunci yang sebenarnya adalah “makna” atau “signifikansi”. Dalam
bukunya The Interpretation of Culture, Geertz mengatakan bahwa “sebuah
analisis budaya bukanlah sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah,
tapi sebuah sains interpretative yang mencari makna”[14].
Interpretasi
Budaya dan agama “Thick Description”
Dalam
penerapan objek teorinya, Geertz mencoba menyimpang dari tradisi antropologi
sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku atau pemukiman di
pulau terpencil, komunitas petani atau penggembala, atau suku-suku terasing
yang cenderung menghilang. Mojokuto, sebuah kota kecil di pulau jawa dipilih
untuk memberikan kontras dari kecederungan tersebut. Mojokuto mempunyai
kehidupan masyarakat yang multi agama, multiras yang kompleks di sebuah kota
kecil yang penduduknya melek huruf dengan tradisi tua, urban tidak homogen
serta sadar dan aktif secara politik.
Awalnya, Geertz berpandangan bahwa suatu agama akan
tergambar dari dan oleh kondisi masyarakat pemeluknya, sebagaimana yang selama
ini di yakina oleh penganut fungsionalisme, namun masyarakatpun akan ditunjukkan oleh
agama yang mereka anut. Dalam
upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di
Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya
yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas
sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang
berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang
intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat
di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya
berpusat di kantor pemerintahan, di kota)[15]. Namun
demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi
pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas[16]. Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan,
santri, dan priyayi- merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa,
dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan
pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi
politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian
utama –petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan
pegawai, guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi
sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan[17]. Dengan
kenyataan tersebut diatas serta berbekal kerangka pikir ala Weberian, tampaknya
Geertz melihat bahwa dibalik pernyataan sederhana penduduk Jawa yang 90 % beragama
Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan
upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.
Agama
Masyarakat Jawa Menurut Geertz
Setelah
melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan
September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan
diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada beberapa
hal yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1. Agama
sebagai fakta budaya
Clifford
Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat agama sebagai fakta
budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi
atau neurosis tersembunyi --meskipun hal-hal ini juga
diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga
bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan
neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis
perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang
memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh
warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz,
sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang
global[18].
Selain
itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan
menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan
demikian ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu mempunyai peranan yang
saling kontradiksi.
2. Trikotomi budaya (agama?) “Jawa”
Dalam
buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga
menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri,
dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus
disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan
menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang
membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama “Jawa”
adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan
menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan
utuh atas ketiga varian tersebut.
3. Hubungan
antara Islam dan masyarakat Jawa
Salah
satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika
hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas
tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya
percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi
juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia
selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi.
Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak
boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan
hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian
hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan
dalam kehidupan. Penggunaan
numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak
dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di
sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa[19].
Islam Observed
Penelitian Geertz
tidak hanya berhenti di Jawa dan Bali saja, tetapi juga ke wilayah komunitas
Islam di Maroko. Islam sebagai agama yang diteliti, mempunyai corak dan latar
yang berbeda di dua tempat yang berbeda, yakni di Indonesia, dalam hal ini Jawa
dan Maroko. Maroko tumbuh sebagai agama muslim yang terletak di Afrika Utara
sejak 1050-1450 ketika masyarakat didominasi oleh suku-suku agresif dari padang
pasir dan pedagang-pedagang fanatic dalam kota, langsung saja di persingkat.
Berdasarkan penelitian Geertz di Maroko, kesimpulan akhir dikatakan bahwa
Muslim Maroko memandang bahwa perjumpaan dengan tuhan sebagai sesuatu
pengalaman yang intens. Namun bagi mereka, kehidupan dalam perilaku keseharian
sebagian besar tidak mencerminkan perilaku yang religious. Sebaliknya di
Indonesia, pengalaman dengan tuhannya mempunyai intensitas yang kecil, namun
tingkan religiusitasnya jauh lebih luas[20].
Dari ilustrasi hasil
penelitian Geertz tersebut, bisa di ambil tiga hal penting dari model
penelitiannya, pertama, Geertz mempunyai perhatian yang kuat pada
kekhusuan sebuah budaya, kedua, penekanan karakteristik pada pada arti thick
description tentang agama, ketiga, Geetrz memasukkan satu kesimpulan
yang lebih umum, sebagai contoh keduannya tidak menolak keraguan yang
diakibatkan oleh munculnya skularisme dan skriptualisme. Bagi Geertz hal
tersebut adalah bentuk kesamaan umum yang bisa ditarik dari kedua bangsa ini.
Beberapa Kritik
terhadap Teori Geertz
Idealnya sebuah
teori, pasti memunculkan kritik dan pembacaan dalam perspektif yang berbeda.
Salah satu konsepsi Geertz dalam The Religion of Java adalah
pandangannya tentang dinamika hubungan antara islam dan masyarakat Jawa yang
sinkretik. Sinkretisitas tersebut Nampak dalam pola tindakan orang jawa yang
cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal ghaib dengan seperangkat
ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam di atur sesuai
dengan hokum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya[21]. Di
antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang
merupan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan
(kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan,
sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula
konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam
penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan,
santri dan priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu
kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan
kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi,
sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia
menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti
Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan,
serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat
Jawakarenapadakenyataannyaterdapat priyayi yang abangan ataupriyayi yang santri[22].
Terkait dengan
metodologi penelitiannya, salah satu kritik yang cukup signifikan adalah kritik
Talal Asad dalam penafsirannya terhadap agama[23].
Sabagaimana di ketahui, Geertz menempatkan agama dalam dua sisi yaitu sebagai ethos
dan sebagi world view. Menurut Asad, dalam meneliti fenomena keagaan
seorang antropolo harus memiliki pengetahuan tentang ajaran tersebut termasuk
argument yang mendasarinya. Disinilah kajian agama sebagai sekumpulan doktrin
dan kajian agama sebagai relitas social bisa dipadukan.
Penutup
Dalam pendangan
Geertz, agama merupakan sebuah system holistic yang terkait dengan lingkaran
hermeneutis yang mencakup experience near concept yaitu makna yang
dialami oleh penganutnya menuju experience distance concept yaitu makna
bagi orang luar dan sebaliknya. Faktor yang ada dalam diri manusia berupa
motivasi dan ide mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang luar biasa
bagi dirinya. Sementara faktor eksternal berupa symbol-simbol yang merupakan
ekspresi dari praktik-praktik tindakan individu secara bersama, sehingga agama
merupakan symbol bentuk ekapresi dari tindakan-tindakan individu secara
bersamaan.
Terlepas dari
berbagai kritik yang di arahkan kepada Geertz, kesuksesannya membangun “era
interpretative” dalam bidang antropologi dan menerapkannya dalam bidang studi
agama, telah menjadi rujukan para pemikir sesudahnya baik kalangan antropolog,
agamawan, sosiolog maupun disiplin ilmu lain. Terobosan ini yang membuat dia
dikenal sebagai tokoh antropologi modern.
DAFTAR PUSTAKA
L. Pals, Daniel. 2011.
Seven Theories of Religion (terj. Inyiak Ridwan Munir dan M. Syukri).
Yogyakarta: Irchisod.
Asad, Talal. 1993. Genealogies
of Religion: Dicipline and Reasons of The Power in Christianity and Islam. Baltimore
and London: The John Hopkins University Press.
Geertz, Clifford, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab
Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Pals, Daniel L., Seven
Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi
Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001.
Geertz, Cilfford.
1960. The Religion of Java. Glencoe II: The Free Press.
Geertz, Clifford.
1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Group.
Kleden, Ignas, “Clifford Geertz,
Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalamhttp://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006.
Syam, Nur, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman:
Tradisi Islam Di Tengah PerubahanSosial”dalamwww.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah /20Nursyam.doc.
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan
Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
[1].Ditulis oleh
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin program studi Ilmu Aqidah pada 09 Mei 2016, dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Agama di Universitas Darussalam
Gontor.
[2].Daniels L.P, Seven
Theories of Religion, (Oxford: Oxford University Prees, 1996), hlm. 234.
[3].ibid.
[5].Daniel
L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor,
Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali
Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 397
[6].http://en.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz.
[7].Daniel
L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor,
Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali
Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 401.
[8].Tradisi
ini dirintis oleh Imigran asal Jerman, Franz Boas yang melaksanakan ekspedisi
tunggal ke daerah suku-suku bangsa eskimo di pantai Pulau Baffinland pada tahun
1883-1884. Aktifitas-aktifitas ilmiah F. Boas ini, kemudian diikuti oleh Alfred
Louis Kroeber, Robert H. Lowie dan masih banyak antropolog lain, sehingga ilmu
antropologi Amerika mengalami kemajuan yang pesat dengan penelitian-penelitian
yang luas terhadap kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa Indian di Amerika.
Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta:
UI-Press, Cet. II, 1987, hlm. 122-137.
[9].Daniel
L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor,
Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali
Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 402.
[10].Tampaknya
konsep-konsep weber, yang diperkenalkan Parson, mendapatkan tempat di dalam
pendekatan interpretatif Geertz terhadap kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari
esai-esai dan buku-buku Geertz, dimana tidak ada seorang pun teoritisi sosial
yang lebih sering dirujuk Geertz dibandingkan Weber. Lihat Ibid., hlm.
404.
[11].Lihat
Ignas Kleden, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalamhttp://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal
16 Nopember 2006.
[12].Lihat Clifford
Geertz, “Thick Description: Toward an Interpretative Theory of Culture”, dalam
Clifford Geertz, The Interprettion of Culture, hlm. 3-30.
[13].Ryle memberi contoh tentang dua orang laki-laki, salah
satunya mengedipkan mata secara reflek sedangkan yang lain mengedipkan mata
kepada temannya dengan maksud tertentu. Meskipun ke dua gerakan tersebut secara
fisik dianggap sama, tapi secara makna lain. Yang satu tidak memiliki arti
apa-apa,tetapi yang satunya punya makna tersembunyi. Lihat dalam Clifford
Geertz “Thick Description”, hlm. 6-7.
[14] .Clifford
Geertz, “Thick Description”, hlm.5.
[15].Lihat
kata pengantar Parsudi Suparlan dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,
Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981, Cet. I, hlm. Vii.
[16].ibid, hlm.6.
[17].ibid, hlm.5.
[18].Degung
Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalamhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/05/seni/3071699.htm.
[19].Lihat
Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah
Perubahan Sosial” dalamwww.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Nursyam.doc.
[20].Daniels L.P, Seven
Theories of Religion, (Oxford: Oxford University Prees, 1996), hlm.
251-252.
[21].Lihat dalam The
Religion of Java, (London: The Free Press of Glencoe, 1960). Geertz
membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga varian: Abangan, Santri dan Priyayi.
Meski menuai banyak kritik, namun teorinya hampirselalu mewarnai
penelitian-penelitian berikutnya, terutama yang serius meneliti tentang kultur
Jawa.
[22].Zaini
Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan,Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002, hlm. 16 et.seq
[23].Talal
Asad, Genealogies of Religion: Dicipline and Reasons of The Power in
Christianity and Islam,(Baltimore and London : The John Hopkins University
Press, 1993).
Komentar
Posting Komentar