Langsung ke konten utama

Interpretasi Budaya Clifford Geertz

Interpretasi Budaya Clifford Geertz
Elvan Tedio Fawaz[1]
Abstrak
Budaya itu lahir karena manusia melakukan hal-hal dari ide-ide mereka, perilaku dan nilai-nilai. Akibatnya, memahami dan menggambarkan budaya hidup tidak dapat dipisahkan dengan tindakan manusia yang terlibat. Dan Agama adalah salah satu dari mereka. Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika, membuat review detail pada konsep agama dan budaya dengan menggunakan metode deskripsi tebal. Geertz menyatakan bahwa "analisis budaya bukan ilmu eksperimental mencari nilai-nilai, melainkan ilmu interpretatif mencari makna" dua esai teoritis Nya terkenal. pertama, menggambarkan antropologi interpretatif secara umum; kedua, menggambarkannya secara khusus terutama dalam bidang agama. Dan untuk memulai, Geertz menggunakan pendekatan tersebut dalam studinya pada budaya dan agama.
Pendahuluan
               Tradisi Antropologi pada masa lalu dipandang sebagai disiplin ilmu dengan luas nya kemampuan untuk generalisasi dan menjelaskan apa saja yang dilakukan oleh manusia dan masyarakatnya. Tradisi tersebut di bangun atas dasar keinginan untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan ilmu pengetahuan dengan memahami budaya dengan model pendekatan penjelasan perilaku (explanation of behaviour). Cliffordz Geertz merasa bahwa tendensi tersebut tidak dapat di jelaskan manusia secara utuh. Dia juga menganggap bahwa secara konseptual tujuan serta metode ilmu-ilmu social traditional tersebut salah. Ide tentang kebudayaan tidak bisa diperlakukan semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dengan daya penjelas tentang apa saja yang hendak di usahakan, dibayangkan, dikatakan atau dipercayainnya. Seandainya digunakan dengan teori seperti yang di gunakan para ilmuwan sains, maka tidak akan bisa mendapatkan sesuatu dari manusia, karena manusia hidup dalam suatu system  yang complicated yang di sebut budaya. Model pendekatan tersebut menurut Geertz lebih sesuai diterapkan untuk penelitian saintis semisal meneliti sekelompok ikan atau lebah.[2]
               Terobosan yang dilkukan Geertz adalah membangun analisis-analisis atas ketidak setujuannya terhadap teori social masa lalu. Perhatian utamannya adalah untuk menekankan pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok dalam ilmu Antropologi maupun ilmu social yang lain. Geertz menegaskan bahwa kegiatan budaya manusia merupakan hal yang luar biasa dan sangat khas. Maka yang teerpenting dalam memahami budaya tersebut adalah menggunakan pendekatan “interpretasi budaya”.[3]
Biografi
Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Karir Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950[4]. Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi diHarvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat multiagama, multiras  yang kompleks di sebuah kota kecil –Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi dalam antropologi[5]. Setelah itu dia melekukan riset berikunya di Bali dan di Komunitas Muslim Maroko, dan ia menyelesaikan rise tersebut pada tahun 1958. Pada waktu itu dia menjadi satu-satunya ilmuwan antropologi yang bergelar Profesor. Karya-karyanya antara lain : The Religion of Java, Agricultural Involution, The Social History of an Indonesian Town, Islam Observed, The Interpretation of Cultures, Local Knowledge, dan masih banyak tulisan-tulisan lain baik dalam bentuk buku maupun artikel[6] . Pada tahun 2006, Geertz meninggal dunia di Philadelphia dalam usia 80 tahun. Dia meninggalkan banyak sekali karya yang teori-teorinya bisa menjadi rujukan, tidak hanya kalangan antropolog, tapi juga ilmuwan humaniora pada umumnya.
Latar belakang Pemikiran
Pendekatan Geertz terhadap agama bisa dilihat dari dua sisi, sisi etnografi dan sisi teoritis. Dan semua itu akan tampak jelas dengan memperhatikan latar belakang pendidikan antropologinya, yakni Harvard University. Melihat latar belakang pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, tampaknya ide agama dan budaya Geertz berkembang di bawah dua pengaruh utama, yaitu tradisi antroplogi Amerika yang independen dan kuat, dan perspektif tentang ilmu sosial yang ia jumpai saat belajar di Harvard dibawah teoritisi terkemuka, Talcott Parsons[7]. Dalam tradisi antropologi Amerika[8], ditegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “partikular” yang teliti, yaitu suatu studi yang berpusat pada satu komunitas dan mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, para perintis antropologi Amerika juga memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi antropologi. Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti sebuah masyarakat, tetapi juga suatu sistem ide, adat istiadat, sikap, simbol, dan institusi yang lebih luas dimana masyarakat hanyalah suatu bagian. Dan saat mahasiswa, tentu saja Geertz telah menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis antropologi Amerika seperti Boas, Kroeber, Lowie dan Benedict kedalam perspektif antropologinya[9].
Adapun terhadap perspektif ilmu sosial, tampaknya Talcott Parsons –gurunya di Harvard- telah bertindak sebagai penyalur ide-ide Weber kepada Geertz[10]. Parson ini merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat terpengaruh oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang telah menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara agama dan masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya Weber serta menjelaskan ide-ide pokoknya. Dari Parson ini, Geertz diperkenalkan dengan ide-ide Weber, terutama tentang pandangan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jejaring (web) makna yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jejaring itu. Dari pandangan ini, Geertz kemudian mencoba mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme tetapi juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut membentuk jaringan makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari komunitasnya. Bertolak dari pemikiran seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian analisis Geertz tentang kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian intepretatif untuk mencari makna(meaning).
Dibawah pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi antropologi Amerika ini, Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi simbol-simbol yang diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan masyarakat. Namun begitu, tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima teori-teori dari para pendahulunya secara taken for granted, dimana dia ternyata mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau pemukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang[11]. Sebaliknya, Geertz justru lebih tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.
Geertz mengupas lebih detail tentang konsep agama dan budaya dengan metode Thick Description[12] atau “deskripsi mendalam” sebagai mana yang digambarkan oleh antropolog inggis Gilbert Ryle[13]. Bahwa meskipun budaya cenderung memiliki berbagi arti dari para antropolg, namun kata kunci yang sebenarnya adalah “makna” atau “signifikansi”. Dalam bukunya The Interpretation of Culture, Geertz mengatakan bahwa “sebuah analisis budaya bukanlah sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tapi sebuah sains interpretative yang mencari makna”[14].
Interpretasi Budaya dan agama “Thick Description”
              Dalam penerapan objek teorinya, Geertz mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku atau pemukiman di pulau terpencil, komunitas petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang. Mojokuto, sebuah kota kecil di pulau jawa dipilih untuk memberikan kontras dari kecederungan tersebut. Mojokuto mempunyai kehidupan masyarakat yang multi agama, multiras yang kompleks di sebuah kota kecil yang penduduknya melek huruf dengan tradisi tua, urban tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik.
Awalnya, Geertz berpandangan bahwa suatu agama akan tergambar dari dan oleh kondisi masyarakat pemeluknya, sebagaimana yang selama ini di yakina oleh penganut fungsionalisme,  namun masyarakatpun akan ditunjukkan oleh agama yang mereka anut. Dalam upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota)[15]. Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas[16]. Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi- merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama –petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan[17]. Dengan kenyataan tersebut diatas serta berbekal kerangka pikir ala Weberian, tampaknya Geertz melihat bahwa dibalik pernyataan sederhana penduduk Jawa yang 90 % beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.
Agama Masyarakat Jawa Menurut Geertz
Setelah melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1.       Agama sebagai fakta budaya
Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat agama sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi  --meskipun hal-hal ini juga diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh warga.  Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global[18].
Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi.
2.       Trikotomi budaya (agama?) “Jawa”
Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama “Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
3.        Hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa[19].         
Islam Observed
Penelitian Geertz tidak hanya berhenti di Jawa dan Bali saja, tetapi juga ke wilayah komunitas Islam di Maroko. Islam sebagai agama yang diteliti, mempunyai corak dan latar yang berbeda di dua tempat yang berbeda, yakni di Indonesia, dalam hal ini Jawa dan Maroko. Maroko tumbuh sebagai agama muslim yang terletak di Afrika Utara sejak 1050-1450 ketika masyarakat didominasi oleh suku-suku agresif dari padang pasir dan pedagang-pedagang fanatic dalam kota, langsung saja di persingkat. Berdasarkan penelitian Geertz di Maroko, kesimpulan akhir dikatakan bahwa Muslim Maroko memandang bahwa perjumpaan dengan tuhan sebagai sesuatu pengalaman yang intens. Namun bagi mereka, kehidupan dalam perilaku keseharian sebagian besar tidak mencerminkan perilaku yang religious. Sebaliknya di Indonesia, pengalaman dengan tuhannya mempunyai intensitas yang kecil, namun tingkan religiusitasnya jauh lebih luas[20].
Dari ilustrasi hasil penelitian Geertz tersebut, bisa di ambil tiga hal penting dari model penelitiannya, pertama, Geertz mempunyai perhatian yang kuat pada kekhusuan sebuah budaya, kedua, penekanan karakteristik pada pada arti thick description tentang agama, ketiga, Geetrz memasukkan satu kesimpulan yang lebih umum, sebagai contoh keduannya tidak menolak keraguan yang diakibatkan oleh munculnya skularisme dan skriptualisme. Bagi Geertz hal tersebut adalah bentuk kesamaan umum yang bisa ditarik dari kedua bangsa ini.
Beberapa Kritik terhadap Teori Geertz
Idealnya sebuah teori, pasti memunculkan kritik dan pembacaan dalam perspektif yang berbeda. Salah satu konsepsi Geertz dalam The Religion of Java adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut Nampak dalam pola tindakan orang jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap hal-hal ghaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam di atur sesuai dengan hokum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya[21]. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawakarenapadakenyataannyaterdapat priyayi yang abangan ataupriyayi yang santri[22].
Terkait dengan metodologi penelitiannya, salah satu kritik yang cukup signifikan adalah kritik Talal Asad dalam penafsirannya terhadap agama[23]. Sabagaimana di ketahui, Geertz menempatkan agama dalam dua sisi yaitu sebagai ethos dan sebagi world view. Menurut Asad, dalam meneliti fenomena keagaan seorang antropolo harus memiliki pengetahuan tentang ajaran tersebut termasuk argument yang mendasarinya. Disinilah kajian agama sebagai sekumpulan doktrin dan kajian agama sebagai relitas social bisa dipadukan.
Penutup
Dalam pendangan Geertz, agama merupakan sebuah system holistic yang terkait dengan lingkaran hermeneutis yang mencakup experience near concept yaitu makna yang dialami oleh penganutnya menuju experience distance concept yaitu makna bagi orang luar dan sebaliknya. Faktor yang ada dalam diri manusia berupa motivasi dan ide mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang luar biasa bagi dirinya. Sementara faktor eksternal berupa symbol-simbol yang merupakan ekspresi dari praktik-praktik tindakan individu secara bersama, sehingga agama merupakan symbol bentuk ekapresi dari tindakan-tindakan individu secara bersamaan.
Terlepas dari berbagai kritik yang di arahkan kepada Geertz, kesuksesannya membangun “era interpretative” dalam bidang antropologi dan menerapkannya dalam bidang studi agama, telah menjadi rujukan para pemikir sesudahnya baik kalangan antropolog, agamawan, sosiolog maupun disiplin ilmu lain. Terobosan ini yang membuat dia dikenal sebagai tokoh antropologi modern.






DAFTAR PUSTAKA
L. Pals, Daniel. 2011. Seven Theories of Religion (terj. Inyiak Ridwan Munir dan M. Syukri). Yogyakarta: Irchisod.
Asad, Talal. 1993. Genealogies of Religion: Dicipline and Reasons of The Power in Christianity and Islam. Baltimore and London: The John Hopkins University Press. 
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,  Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001.
Geertz, Cilfford. 1960. The Religion of Java. Glencoe II: The Free Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Group.
Kleden, Ignas, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalamhttp://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006.
Syam, Nur, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah PerubahanSosial”dalamwww.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah /20Nursyam.doc.
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.


  




[1].Ditulis oleh Mahasiswa Fakultas Ushuluddin program studi Ilmu Aqidah pada 09 Mei 2016, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Agama di Universitas Darussalam Gontor.
[2].Daniels L.P, Seven Theories of Religion, (Oxford: Oxford University Prees, 1996), hlm. 234.
[3].ibid.
[5].Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 397

[6].http://en.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz.
[7].Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 401.
[8].Tradisi ini dirintis oleh Imigran asal Jerman, Franz Boas yang melaksanakan ekspedisi tunggal ke daerah suku-suku bangsa eskimo di pantai Pulau Baffinland pada tahun 1883-1884. Aktifitas-aktifitas ilmiah F. Boas ini, kemudian diikuti oleh Alfred Louis Kroeber, Robert H. Lowie dan masih banyak antropolog lain, sehingga ilmu antropologi Amerika mengalami kemajuan yang pesat dengan penelitian-penelitian yang luas terhadap kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987, hlm. 122-137.

[9].Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 402.
[10].Tampaknya konsep-konsep weber, yang diperkenalkan Parson, mendapatkan tempat di dalam pendekatan interpretatif Geertz terhadap kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari esai-esai dan buku-buku Geertz, dimana tidak ada seorang pun teoritisi sosial yang lebih sering dirujuk Geertz dibandingkan Weber. Lihat Ibid., hlm. 404.
[11].Lihat Ignas Kleden, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalamhttp://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006.
[12].Lihat Clifford Geertz, “Thick Description: Toward an Interpretative Theory of Culture”, dalam Clifford Geertz, The Interprettion of Culture, hlm. 3-30.
[13].Ryle memberi contoh tentang dua orang laki-laki, salah satunya mengedipkan mata secara reflek sedangkan yang lain mengedipkan mata kepada temannya dengan maksud tertentu. Meskipun ke dua gerakan tersebut secara fisik dianggap sama, tapi secara makna lain. Yang satu tidak memiliki arti apa-apa,tetapi yang satunya punya makna tersembunyi. Lihat dalam Clifford Geertz “Thick Description”, hlm. 6-7.
[14] .Clifford Geertz, “Thick Description”, hlm.5.
[15].Lihat kata pengantar Parsudi Suparlan dalam  Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,  Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981, Cet. I, hlm. Vii.
[16].ibid, hlm.6.
[17].ibid, hlm.5.
[18].Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalamhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/05/seni/3071699.htm.
[19].Lihat Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalamwww.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Nursyam.doc.
[20].Daniels L.P, Seven Theories of Religion, (Oxford: Oxford University Prees, 1996), hlm. 251-252.
[21].Lihat dalam The Religion of Java, (London: The Free Press of Glencoe, 1960). Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga varian: Abangan, Santri dan Priyayi. Meski menuai banyak kritik, namun teorinya hampirselalu mewarnai penelitian-penelitian berikutnya, terutama yang serius meneliti tentang kultur Jawa.
[22].Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan,Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 16 et.seq
[23].Talal Asad, Genealogies of Religion: Dicipline and Reasons of The Power in Christianity and Islam,(Baltimore and London : The John Hopkins University Press, 1993).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komponen-Komponen Dakwah

Komponen-Komponen Dalam Dakwah A.     Pendahuluan Dakwah merupakan suatu system yang penting di dalam gerakan islam. Dakwah dapat di pandang sebagai proses perubahan yang diarahkan dan di rencanakan guna dapat menciptakan atau mencetuskan individu, keluarga, dan masyarakan serta peradaban dunia yang di ridhai oleh Allah S.W.T. Dan di dalam dakwah pun sudah kita katahui sangat erat kaitannya dengan komunikasi, dalam hal ini komunikasi sangatlah penting dalam proses dakwah, dan apabila kita ingin mendapatkan hasil yang bagus dan sempurna dalam berdakwah, maka kita haruslah menguasai cara-cara berkomunikasi denga baik, dari kita menguasai hal-hal tersebut maka kita akan mengetahui bagaimana prosesnya komunikasi dakwah tersebut, dan juga kita akan mengetahui apa sajakah unsur-unsur atau komponen-komponen dalam dakwah. Sebelum membahas pembahasan yang kita tuju ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang persentuhan komunikasi dan dakwah. Aktivitas dakwah dan komun...

Pemikiran Neo Sufisme

PEMIKIRAN NEO SUFISME Oleh: Elvan Tedio Fawaz Program Studi Aqidah Filsafat BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Di Indonesia, Hamka telah mengemukakan istilah tasawuf modern yang digagasnya dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku Hamka tersebut tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali dengan tasawuf modern, kecuali dalam hal “uzlah” . Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar khultah dalam mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan kali ini kami akan sedikit menguraikan tentang tasawuf Neo Sufisme. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud Neo Sufisme? 2. Bagaimana ragam dan perkembangan Neo Sufisme? 3. Siapa tokoh Neo Sufisme? C. Tujuan Penulis 1. Mengerti dan memahami Neo Sufisme ...