PRINSIP INTENSIONALITAS DALAM METODE FENOMENOLOGI
Oleh : Elvan Tedio Fawaz[1]
Abstrak
Metode Fenomenologi Edmund Husserl
menurut pandangannya, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang
kebenaran. Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga
sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam
menuju suatu fenomena yang murni. Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua
dan manusia dapat mencapai kebenaran itu. Akan tetapi, Husserl melihat bahwa
sesungguhnya di dalam filsafat itu sendiri tiada kesesuaian dan kesepakatan
karena tidak adanya metode yang tepat sebagai pegangan yang dapat diandalkan.
Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat
fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa
memanipulasinya. Ada suatu slogan yang terkenal di kalangan penganut
fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri).
Dalam keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan
untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran
yang demikian, maka lahirlah metode fenomenologis. Menurut Husserl “prinsip
segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan
pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang
Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman
dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ
Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya
ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai
subjek, seperti akan kita lihat lagi. “Fenomen” merupakan realitas sendiri yang
tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu
sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas.
Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya
bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran).
Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus
dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
Kata Kunci : Fenomenologi, Filsafat,
Intensionalitas.
BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala. Dia
berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari
korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak
di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode
pemikiran “a way of looking at thinks”[2].
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu
kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di
dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan
interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog
atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung
yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia
kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup. Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi
pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara
berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu
sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari
semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan
pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan
kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin.
Bagi Husserl,
Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak
(phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari,
atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau
setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan
fenomenologi. Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang
mendasar, yaitu sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan
fenomenologi pada khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan
yang memerlukan energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke
“relung” terdalam dari ranah filsafat.
BAB II
Pembahasan
A.
Arti Fenomenologi
Menurut Smith
fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana
dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah
studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di
dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala
sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek
fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa
yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda
melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan,
dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.
Dengan demikian
fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif
orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu
pengetahuan saraf (neuroscience), yang berusaha memahami cara kerja
kesadaran manusia di dalam otak dan saraf, yakni dengan menggunakan sudut
pandang pengamat. Neurosains lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena
biologis. Sementara deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia
sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.
Walaupun berfokus
pada pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi tidak berhenti hanya pada
deskripsi perasaan-perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik
tolak untuk sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning),
yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu
bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik,
ketika orang mengalami dunianya secara personal. Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa
kaitan fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia?
Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan kritisnya terhadap
psikologi positivistik, yang menolak eksistensi kesadaran, dan kemudian
menyempitkannya semata hanya pada soal perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith,
fenomenologi Husserl lebih tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang
merupakan lawan dari psikologi positivistik.
Bagi Husserl
fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam
maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl mau menantang semua
pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti
pada psikologi positivistik maupun pada neurosains. Ia menyebut fenomenologi
sebagai ilmu pengetahuan transendental (transcendental science), yang
dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science),
seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya,
perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk psikologi
positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman manusia (meaning
in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah observasi ataupun
generalisasi di dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan
pada psikologi positivistik.
B. Intensionalitas[3]
Fenomenologi
Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Namun apa sebenarnya yang
dimaksud dengan esensi dari kesadaran? Berdasarkan penelitian Smith
fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama,
setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran.
Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang
bersifat subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu
merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda
membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah
mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang
disebut Husserl sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa
kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.
Tindakan seseorang
dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas.
Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang
lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan
manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran
tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas
sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran.
Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness).
Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang
bertujuan pada satu obyek.
Namun Husserl juga
melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan
intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun pusing. Kedua
pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek yang konkret. Namun
pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang menderita penyakit tertentu.
Mayoritas pengalaman manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia
melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu.
Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai
tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam
kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara
berpikir.
Salah satu hal yang
muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk
intensionalitas kesadaran. Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu
yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada
suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran
selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata
“intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa
kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru
intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila
kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap
menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari
sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada
bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu
suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan
obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama
antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek
yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Berbeda dengan mode pemikiran filsafat barat
pada umumnya yang bersifat logis-formalis di satu sisi dan bersifat
empiris-positvistis pada sisi yang lain, pemikiran Husserl lebih bersifat
intuitif gagasan intuitif. Gagasan intensionalitas membuat manusia dan realitas
benar-benar membentuk suatu jalinan sejarah, dalam arti “beruang” dan
“berwaktu”. Dengan “beruang” dan “berwaktu” dunia akan menjadi penuh makna.
Adanya bukan hanya masuk dalam bilangan tetapi dalam hitungan. Inilah makna
eksistensialisme. Di
dalam pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki
status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu tentang
esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan, bahwa kesadaran manusia
tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas
sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas, suatu konsep yang sangat
sentral di dalam fenomenologi Husserl.
Husserl kemudian
mencoba mengembangkan teori intensionalitas ini. Setiap tindakan manusia selalu
melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek
yang nyata di dunia. Manusia adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu
obyek yang nyata di dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak
pernah berada di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison
makna tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan
relasi rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison
dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah
yang menjadi dasar dari fenomenologi.
DAFTAR PUSTAKA
Team Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru).
Jakarta: Pustaka.
Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar
Komprehensif). Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
David Woodruff
Smith, Husserl, London, Routledge, 2007.
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar,
2004)
[1]Ditulis oleh
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah pada 20/10/2016,
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Fenomenologi Agama di Universitas Darussalam Gontor.
[3]Intensionalitas
adalah konsep eksistensialisme yang mirip dengan prinsip determinisme, psikis
dari psikoanalisis, ia mengemukakan bahwa kejadian-kejadian mental tidak muncul
secara kebetulan. Konsep intensionalitas yang diambil oleh para eksistensialis
dari Brentano dan Hussrt mengemukakan bahwa kesadaran manusia selalu memiliki
maksud atau terarah pada sesuatu.
Komentar
Posting Komentar