Konsep Do’a Dalam Prespektif Al-Quran
Oleh: Elvan Tedio Fawaz
Abstrak
Al-Qur`an merupakan
sumber utama perundang-undangan dalam Islam sekaligus sebagai pedoman,
penuntun, guidelines abadi bagi seluruh ummat Islam dan
siapapun yang mengimaninya. Oleh karena itu, sebagai konsekwensi logis, setiap
orang yang beriman, berkewajiban untuk menjalankan segala perintah yang ada di
dalam al-Qur`an dan menjauhi segala yang di larangnya. Adapun salah satu hal
yang diajarkan al-Qur`an adalah tuntunan untuk berdoa. Term doa telah
banyak diketahui oleh masyarakat. Berbagai literatur telah banyak memberikan informasi terkait dengan
doa. Akan tetapi, pemahaman yang diberikan cenderung mengartikan
kata “doa” hanya sebagai permohonan. Terlebih bila
dihubungkan dengan “terkabulnya doa”. Dalam ajaran Islam doa menempati posisi
penting, dan tidak hanya digunakan untuk meminta kebutuhan hidup semata,
melainkan sebagai sarana berinteraksi dengan Allah dan juga sarana beribadah. Dengan
demikian, harus dilakukan kajian tafsir dengan segala pembahasannya, sehingga
makna yang tersurat dalam Alquran tersebut dapat dipahami. Oleh karena itu,
salah satu kajian tafsir tentang konsep “Doa” yang tertera dalam surah Al Baqarah ayat 186 dan surah Al A’raf
ayat 55, adalah suatu hal yang sangat penting dilakukan, karena doa merupakan
suatu pengakuan tentang kekuasaan, kebesaran dan kesucian Allah swt. dari
segala yang tidak layak bagi-Nya dan mengakui kekuasaan, kebesaran dan kesucian
Allah dari segala kekurangan, dan juga sebagai landasan utama dalam menyampaikan
konsep doa tersebut.
Kata Kunci:
Al-Quran, Konsep Doa, Al-Baqarah 186
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Allah menciptakan
manusia dalam keadaan yang lemah, sehingga manusia tidak dapat memenuhi semua
kebutuhan hidupnya secara mandiri. Adakalanya manusia harus berinteraksi dengan
sesama guna melengkapi kebutuhan-kebutuhan tersebut, karena manusia juga
makhluk sosial. Namun seiring meningkatnya kebutuhan, manusia tidak hanya
membutuhkan bantuan dari sesama manusia, karena ada beberapa kebutuhan yang
tidak mungkin dipenuhi oleh sesama manusia. Hal ini menyebabkan manusia kembali
pada Dzat yang telah menciptakannya, yaitu dengan jalan berdoa. Bahkan untuk
hal-hal yang mungkin didapatkannya dengan jalan meminta bantuan kepada sesama makhluk
pun manusia tetap memintakannya kepada Dzat Maha Pemberi.
Dari hal yang telah
di paparkan diatas kami mengetahui bahwa manusia tetaplah membutuhkan adanya
interaksi dengan Tuhannya, karena menurut Molinowski dalam analisisnya mengenai
manusia, bahwa manusia membutuhkan interaksi dengan Tuhannya guna memenuhi
kebutuhan spiritualitasnya (ruhaniah)[1],
baik itu dari agama Islam, Yahudi, Nashrani, bahkan Atheis pun sebenarnya
mengakui adanya kekuatan lain di luar diri meraka, namun mereka enggan menyebutnya
sebagai Tuhan.
Al-Quran sebagai
kitab suci, merupakan petunjuk bagi ummat manusia, disegala ruang dan waktu,
sehingga seharusnya dipahami Alquran tersebut secara mendalam, luas, utuh dan
dinamis sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an juga
merupakan sumber pokok ajaran Agama Islam, sehingga seluruh pembahasan ayatnya
merupakan sesuatu yang urgen dalam Islam. Begitu juga halnya pembahasan
mengenai Doa, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang Doa, dan
juga mempunyai banyak arti yang berbeda. Dalam ayat yang sama pun Ulama banyak
yang berbeda dalam menafsirkan kata Doa itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
bahwa kajian tentang konsep doa dalam prespektif Al-Quran sangat menarik untuk dicermati. Lebih menarik lagi,
bilamana kajian tentang konsep doa tersebut berdasarkan pendekatan tafsir Al-Qur’an
yang tedapat pada surah Al-Baqarah ayat 186.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan merujuk pada uraian-uraian latar belakang yang jelas dipaparkan,
maka masalah pokok yang akan dijadikan obyek kajian disini adalah bagaimana konsep
doa yang tepat dalam prespektif Al-Quran? dan adapun sub-sub masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa
definisi dari Doa ?
2. Bagaimana
hubungan surah Al-Baqarah 186 dalam konsep Doa ?
3. Bagaimana
konsep doa yang sebenarnya menurut Al-Quran ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dari
tujuan tulisan ini:
1.
Ingin mengetahui definisi doa tepat.
2.
Ingin mengetahui apa yang ada di dalam
surah Al-Baqaroh 186.
3.
Ingin mengetahui bagaimana konsep doa
yang sebenarnya menurut Al-Quran.
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di
atas, maka maksud dari tujuan penelitian ini:
1)
Bagi pengembangan ilmu untuk menambah khazanah dalam
bidang kajian al-Qur’an
2)
Bagi pemerintah sebagai dasar landasan dalam pengembangan pengetahuan tentang doa
3)
Bagi tokoh-tokoh agama sebagai referensi dalam pembinaan
ummat/ sebagai referensi ulama-ulama untuk mencerdaskan ummat
4)
Bagi masyarakat sebagai acuan untuk membedakan makna
doa yang sebenarnya
1.5 Metode Penulisan
Pada bagian ini dijelaskan tentang bagaimana pekerjaan keilmuan ini
disesuaikan, tentang jenis penelitian, pendekatan dan cara-cara yang ditempuh
serta bagaimana menganalisis tersebut.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yakni melalui
penelusuran kepustakaan (library research), yaitu jenis penelitian dari
khazanah literatur dan menjadikan “dunia teks” sebagai objek utama analisisnya,
yaitu dengan cara menuliskan, mengeditkan, mengklasifikasi, mereduksi, dan
menyajikan data yang diperoleh dari sumber tertulis.[2]
2. Metode Pengumpulan
Data
Melihat jenis penelitian yang merupakan penelitian kepustakaan, maka metode
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan atau dokumentasi,
yaitu mengkaji dan menela’ah pelbagai tulisan, buku, artikel, jurnal, ataupun
majalah yang mempunyai relevansi dengan tema pokok dalam pembahasan ini.
Bab
II
Pembahasan
A. Pengertian Doa
Dari konstruksi hurufnya, doa merupakan kata serapan yang diadopsi dari
bahasa Arab, yaitu al-du`a (الدعاء). Adapun dari sisi bentuk atau shighat (الصيغة), lafadz al-du`a (الدعاء) merupakan salah satu bentuk derivasi
dalam bentuk mashdar (المصدر)[3] yang
di ambil dari lafadz (دعا - يدعو). Sedangkan kata kerja (دعا -
يدعو) sendiri, termasuk ke
dalam fi`il tsulasi mujarrad, yaitu kata kerja yang
terbentuk dari tiga hurufdal,`ain, dan alif, dengan
menyandang predikat bina` mu`tal naqish[4].
Pembentukan lafadz mashdar al-du`a (الدعاء) dari kata kerja (دعا -
يدعو), mengikuti salah satu kaidah
pembentukan mashdar sima`I[5]
fi`il tsulasi mujarrad, yaitu apabila suatu lafadz mengandung
arti suara, maka pembentukan mashdar akan mengikuti wazan فعالا atau فعيلا,[6] sehingga
lafadz دعا yang secara teori
memiliki bentuk asli دعو , berubah menjadi دعاوا . Akan tetapi, hasil derivasi tersebut belum mencapai bentuk final.
Hal ini dikarenakan, bentuk mashdar دعاوا harus terbentur dengan ketentuan
lain, yaitu apabila hurufwawu atau ya` terletak
sesudah huruf tambahan; huruf alif yang terletak setelah
huruf `ain, maka berdasarkan teori, huruf-huruf tersebut harus
diganti dengan huruf hamzah. Dengan demikian, bentuk mashdar دعاواberubah menjadi دعاءا atau الدعاء.
“Doa” (الدعاء) merupakan
jenis lafadz yang memiliki makna lebih dari satu. Hal ini terlihat ketika
al-Qur`an menggunakan kata doa beserta derivasinya di berbagai tempat dengan
sasaran makna yang berbeda. Berdasarkan data deskriptif di dalam kitab al-Mu`jam
al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim,[7] kata
“doa” digunakan sebanyak kurang lebih dua ratus empat belas kali beserta
derivasinya[8]. Arti etimologi lainnya, doa dapat bermakna memohon, minta diambilkan
(sesuatu), membutuhkan, menuturkan kebaikan mayat, minta tolong, menyukai,
mencari kebaikan (untuk orang lain), menisbatkan (kepada orang lain), mengajak
dan mendorong (untuk melakukan sesuatu), dan menggiring[9].
B. Doa Dalam Al-Quran
QS. Al-Baqarah (2): 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya:
Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dalam
ayat ini Allah ingin menjelaskan bahwa setelah kamu berpuasa dan diri kamu
telah menjadi suci, maka kamu pantas untuk bersyukur kepada-Nya. Dalam sebuah
hadis Qudsi tertulis:
الله
سبحانه يقول في الحديث القدسي : ) ثلاثة لا ترد دعوتهم ، الصائم حتى يفطر ،
والإمام العادل ، ودعوة المظلوم ، يرفعها الله فوق الغمام وتفتح لها أبواب السماء
، ويقول الرب : وعزتي لأنصرنك ولو بعد حين[10]
Dalam Al-Quran di
temukan bahwa setiap kata سألك bertanya kepadamu selalu diiringidengan
jawaban قلkatakanlah, Namun dalam ayat 186 ini Allah tidak
menyertakan kata tersebut, akan tetapi langsung menjawab pertanyaan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah itu dekat dengan hamban-Nya, oleh karena itu
tidak perlu perantara dalam menyampaikan jawaban-Nya[11].
Apabila dilihat dari segi Asbab al-Nuzul, ayat
ini turun ketika salah seorang Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw : “Wahai Rasulullah, apakah Allah itu dekat, sehingga kami minta
keselamatan kepada-Nya atau jauh sehingga kami memanggil-Nya?” Rasulullah
terdiam dan turunlah ayat tersebut. Selanjutnya dalam Tafsir Al-Sa’dy (Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam
al-Manan) diterangkan bahwasannya lafadz al-Du’a’ dalam ayat tersebut bisa bermakna dua
macam, yakni permohonan dan Ibadah. Dan yang jadi titik tekan dari Asbab al-Nuzul tersebut, ialah pertanyaan mengenai
posisi Allah, sehingga turunlah ayat yang mengasusimkan bahwa Allah sangatlah
dekat dengan kita, dan konsekwensi dari kedekatan tersebut ialah mudahnya Allah
mendengar doa para hambanya untuk kemudian dikabulkan oleh-Nya.
Dalam ayat ini Allah
S.W.T mempergunakan kata ibadi tidak memakai kata abdi, karena
ada perbedaan antara kedua kata tersebut sekalipun bentuk mufradnya sama abdun,
seluruh manusia adalah abid bagi Allah. Akan tetapi tidak semua ibad
terhadap Allah[12].
C.
Kandungan
Pada Doa
Abu Ishaq memunculkan konsepnya mengenai doa yang yang ditujukan kepada
Allah. Menurutnya, secara umum, doa mengandung tiga hal:
Ø
Pertama, pengesaan dan pujian
kepada Allah
Ø Kedua, permohonan yang bersifat rohaniah, seperti meminta ampun, rahmat
dan lain sebagainya
Ø Ketiga, permohonan yang berorientasi kepada materi duniawi. Seperti halnya
berdoa meminta rizki, anak, makanan dan lain-lain[13].
D. Adab Dalam Berdoa
Allah sudah pasti
akan menjawab doa manusia. Jika seseorang berdoa, paling tidak dia akan
mendapatkan 3 macam perlakuan; dikabulkan waktu itu juga, ditunda pengkabulan
doanya, atau diganti dengan hal lain yang lebih baik untuk pendoa. Hal ini
sebagaimana yang diinformasikan sabda Rasulullah:
إنه لا
يضيع الدعاء بل لا بد للداعي من إحدي الثلاث: إما ان يجعل له دعوته وإما أن يدخرها
له في الأخرة وإما ان يصرف عنه من السوء مثلها (أخرجه أحمد(
“Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan doa salah seorang di antara kamu, melainkan mestilah bagi orang
yang berdoa salah satu dari 3 perkara: mengabulkan Allah doanya, atau
menundanya hingga di akhirat, atau menggantinya dengan yang lainnya.” (HR.
Ahmad)[14]
Untuk itu, perlulah
beberapa kiat yang mesti dijalankan ketika berdoa, dengan orientasi melakukan
doa terbaik dan Allah mengabulkan doa tersebut. Hal ini bisa berupa adab dalam
berdoa. Tidak dipungkiri, ketika menghadap manusia dalam rangka meminta
pertolongan, seseorang terikat suatu adab sopan-santun. Apalagi ketika
berhadapan dengan Allah, tentunya di sana juga terdapat kode etik yang harus
diperhatikan.
Berikut ini disampaikan beberapa adab dalam berdoa yang dikutip dari
kitab ad-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaj bi al-Ruqy min al-Kitab wa al-Sunnah
1. Berdoa dengan rasa ikhlas
2. Memulai dan menutup doa dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah
3. Yakin dengan apa yang didoakan dan yakin bahwa doa akan dikabulkan
4. Perlahan-lahan dan tidak terburu-buru
5. Menghadirkan hati dalam doa
6. Berdoa dalam keadaan lapang maupun sempit
7. Tidak berdoa melainkan hanya kepada Allah
8. Memelankan suara antara terdengar dan tidak
E. Konsep Ijabah Doa
Konsep ijabah atau terkabulnya suatu doa tidak dapat
terlepas dari interpretasi lafadz doa itu sendiri. Hal ini dikarenakan, secara
garis besar, doa memiliki dua pengertian: ibadah sebagai makna pokok, dan juga
makna-makna sekundernya. Dengan kata lain, pengertian ini berimplikasi pada
pemahaman konsep ijabahsuatu doa. Oleh karena itu, konsep ijabah
al-du`a terbagi menjadi dua; konsep primer dan sekunder.
Terkait
dengan lafadz doa yang diartikan sebagai ibadah, al-Thabari memberikan
pandangannya terhadap konsep ijabah dari makna doa tersebut.
menurutnya, kata ijabah di sini memiliki pengertian pemberian
pahala. Hal ini merupakan sebuah konsekwensi konkrit bagi setiap ibadah yang
ditunaikan. Oleh karena itu, konsep doa di sini dapat
diartikan sebagai permohonan hamba kepada Allah dan memohon janji-Nya (seperti
halnya) kepada para para wali Allah atas keta`atan mereka kepada-Nya. Adapun
konsep ijabahdari pengertian doa ini, yaitu balasan yang Allah
janjikan kepada setiap orang yang melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain,
konsep ibadah ini memiliki pengertian bahwa Allah akan memberikan pahala bagi
setiap ibadah, sebagai bentuk ta`at kepada-Nya. Konsep inilah yang dipandang
sebagai konsep primer dari terkabulnya doa[15]
Dari
keterangan di atas, terlihat konsep ijabah doa, yaitu
adakalanya doa dikabulkan di dunia, atau di akhirat, bahkan dikabulkan dengan
cara diganti dengan hal yang lebih baik menurut Allah. Hal inilah yang
menunjukan bahwa pada dasarnya, tidak ada doa yang ditolak oleh Allah (mardud).
Karena ada kalanya Allah mengabulkan doa di dunia. Namun, apabila doa dirasa
tidak terealisasikan didunia, maka terdapat dua kemungkinan. Pertama,
Allah mengabulkannya doa itu di akhirat.Kedua, Allah mewujudkan doa
tersebut dalam bentuk lain yang lebih baik. Dikabulkannya doa, baik itu di
dunia, di akhirat atau bahkan diganti dengan yang lebih baik merupakan hikmah
dari Allah swt. Karena Allah yang Maha mengetahui segala yang baik untuk
hambanya. Dengan kata lain, Allah memberikan apa yang dibutuhkan namun tidak
selalu mengabulkan apa yang diminta.
Bab III
Pennutup
A. Kesimpulan
Pada dasarnya, kata doa merupakan jenis kata yang memiliki banyak makna,.
Berdoa juga merupakan suatu ibadah bahkan berdoa adalah kunci dari
ibadah, dalam hal ini kita memahami dan menjadi mengerti bagaimana konsep doa
yang sebenarnya yang di ajarkan oleh Al-Quran, kita sadar bahwa kita hanyalah
hamba biasa yang didak luput dari salah dan dosa, oleh karena itu kita di
ajarkan bagaimana tata cara supaya kita bisa mengurangi segala dosa kita dengan
berdoa dan lainya. Dan yang paling terpenting dalam konsep doa ini adalah
bahwasanya Allah tidak akan pernah lupa untuk mengabulkan segala kegiingan atas
hambanya yang mereka inginkan, akan tetapi penentuan dari segala kenginganan
hambaNya ada pada penentuan terbaik-Nya atau kehendak-Nya, karena kami tidak
akan perna tau mana yang terbaik bagi kami atas apa yang kami inginkan.
B. Saran
Kajian yang terdapat dalam al-Qur’an tidak akan pernah ada hentinya.
Seiring berkembangnya zaman ragam penafsiran al-Qur’an senantiasa muncul dan
mencetuskan pemikiran-pemikiran cemerlang dari para mufassir. Begitu juga
halnya pembahasan doa dalam al-Qur’an, tidak akan mampu ter-cover dalam satu makalah ataupun buku yang tebal
sekalipun.
Makalah ini bukanlah
hasil final dari sebuah pembahasan tentang doa dalam al-Qur’an, dan
memungkinkan terdapat banyaknya kesalahan. Kami sebagai penulis hanya berharap
akan ada peneliti-peneliti dari cendekiawan muslim yang bersedia menyumbangkan
fikirannya untuk kembali menelaah ulang pembahasan doa dalam al-Qur’an.
Sehingga dapat mengembangkan wacana keislaman baik dari sisi Intelektualitas,
moralitas, maupun spiritualitas. Akhir kata dari kami (penulis) mohon maaf apabila dalam makalah
ini terdapat banyak kesalahan, baik dari segi penulisan maupun kesalahan
informasi (data) yang disampaikan.
Daftar Pustaka
Tafsir As-Sya’rawi
Juz 1
Moh. Soehadha,
“Pengertian Antropologis Tentang Agama dan Pengertian Oleh Negara Tentang Agama
di Indonesia”, ESENSIA, VI no.2, Juli 2005.
Noeng
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1989.
Busyro,
Muhtarom. al-Sharf al-Wadlih: Shorof Praktis “Metode Krapyak”.
Yogyakarta: Putera Menara, 2007.
Abdul
Baqi, Muhammad Fuad al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim kairo:
Dar al-Hadis, t.t.
Ibn
Mandzur, Lisan al-`Arab DVD Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Al-Shan’ani,
Muhammad ibn Isma`il al-Kahlani Subul al-Salam DVD
Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
Al-Thabari, Abu
Ja`far, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an DVD
Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008.
http://www.bloger.com/post.cread,
http://www.wikipediabahasaindonesia.com.
[1] Moh.
Soehadha, “Pengertian Antropologis Tentang Agama dan Pengertian Oleh Negara
Tentang Agama di Indonesia”, ESENSIA, VI
no.2, Juli 2005, hlm. 183-190.
[3] Mashdar merupakan kata benda jadian yang tidak
terkait dengan keterangan waktu layaknya kata kerja (fi`il).
Adapun mashdar dalam ilmu shorof, terbagi menjadi
dua, yaitu mashdar mim dan masdhar ghair mim.
Secara singkat, perbedaan keduanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya
huruf mim (م) di awal kata. Apabila huruf awal suatu mashdar terdiri dari
huruf mim, maka termasuk ke dalam kategori mashdar mim.
Lihat: Muhtarom Busyro, al-Sharf al-Wadlih: Shorof Praktis “Metode
Krapyak”(Yogyakarta: Putera Menara, 2007), hlm. 189-190.
[4] mu`tal naqish merupakan salah satu bina` mu`tal,
yaitu apabila lam fi`il (mengikuti wazan فعل) suatu lafadz terdiri
dari huruf `illat: alif, waw, dan ya`. Dengan
demikian, lafadz (دعا) menyandang bina` mu`tal
naqish karena adanya huruf `illat alifdi huruf
terakhir. Untuk lebih jelas, lihat: Muhtarom Busyro, al-Sharf
al-Wadlih…hlm. 25.
[5] Mashdar sima`i adalah salah satu bentuk mashdar
yang terbentuk berdasarkan pendengaran dari kata-kata yang diucapkan oleh orang
Arab sebagai native-speaker atau pemilik bahasa tersebut.
dengan demikian, jumlah wazan untuk membentuk mashdar jenis ini memiliki jumlah
yang banyak serta tidak dapat diqiyaskan. Lihat: Muhtarom Busyro, al-Sharf
al-Wadlih…hlm. 190.
[7] Lihat: Muhammad Fuad Abdul Baqi al-Mu`jam
al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim (kairo: Dar al-Hadis, t.t.),
hlm. 257 – 260.
[8] Dalam ilmu linguistik, derivasi adalah adalah proses pembentukan kata
yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-kata yang berbeda dari paradigma
yang berbeda); Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan. Lihat: Dwi
Purmanto-Kajian Morfologi Derivasional dan Infleksional (Wikipidia
Indonesia).
[11] Ibid, hlm 589.
[12] Makna abid adalah
orang yang di paksa untuk melakukan sesuatu atau yang lebih di kenal dengan
sebutan budak/hamba. Namun kata abid ini lebih identic kepada budak yang
menentang majikannya, sedangkan ibad budak yang taat. Hamba yang
terakhir ini memilih untuk mentaati perintah Allah dan melawan ajakan hawa
nafsu mereka. Lihat: Tafsir As-Sya’rawi Juz 1 hlm 590.
[13] Lihat:
Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab DVD
Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008 hlm. 257. Juz 14.
[14] Al-Shan’ani, Subul as-Salam Juz VII hlm. 249, , CD
ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
Komentar
Posting Komentar