ARTI KEBEBASAN
Oleh: Elvan Tedio Fawaz
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas,
merdeka merupakan salah satu keinginan manusiawi yang sangat amat mendasar.
Maka tidak mengherankan bahwa masalah kebebasan sudah banyak sekali di soroti
dalam berbagai karya tulis atau berbagai tulisan-tulisan dari berbagai bidang.
Kebebasan kewarganegaraan di bicarakan dengan hangat di bidang politik. Dan
dalam dunia ekonomi mereka mengenal pasaran bebas. Dan di bidang pendidikan pun
kebebasan anak didik sering kali menjadi pusat perhatian. Dan tidak kalah
menariknya di dalam lingkungan kehakiman, yang mana masalah kebebasan todak
mungkin diabaikan.
Mengenai
kebebasan manusia terdapat bermacam-macam anggapan, pendapat dan
pandangan. Dan didalam mempelajarinya, kita langsung dihadapkan pada fakta
bahwa antara pendapat satu dengan yang lain, dalam hal ini tidak hanya terdapat
perbedaan yang cukup besar, tetapi
sering juga dihadapkan dengan pertentangan. Perselisihan pendapat itu
dapat di mengerti apabila kita menyadari bahwa kebebasan manusia bukanlah
kebebasan mutlak atau murni, melaikan kebebasan yang relatif, karena dibatasi
oleh situasi, waktu dan kondisi manusia tersebut.
Dan dalam hal ini saya berusaha menyajikan
pembahasan tentang kebebasan yang di tinjau dari segi filsafatnya, karena dalam
hal ini masuk juga sebaga tugas para filusuf untuk menyelidiki hal-hal yang
tidak diselidiki oleh ilmu lainya.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan merujuk pada uraian-uraian latar belakang yang jelas dipaparkan,
maka masalah pokok yang akan dijadikan obyek kajian disini adalah bagaimana
kita mengetahui makna kebebasan yang sebenarnya yang berindukkan dari suatu
buku? dan adapun sub-sub masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa arti dari kebebasan dari artian umum dan dasariah?
2.
Bagaimana artian-artian khusus dalam memaknai arti kebebasan
tersebut?
1.3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dari
tujuan tulisan ini:
1.
Ingin mengetahui pengertian dari makna kebebasan
2.
Ingin mengetahui artian-artian khusus dalam memaknai arti
kebebasan
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di
atas, maka maksud dari tujuan penelitian ini:
1)
Bagi pengembangan ilmu untuk menambah khazanah dalam
bidang kajian Filsafat
2)
Bagi pemerintah sebagai dasar kebijakan dalam pengembangan
makna kebebasan yang sebenarnya
3)
Bagi tokoh-tokoh agama sebagai referensi dalam pembinaan
ummat/ sebagai referensi ulama-ulama untuk mencerdaskan ummat
4) Bagi masyarakat
sebagai acuan untuk membedakan pemikiran yang benar yang salah dan salah.
Bab II
Pembahasan
1.
Arti Umum dan Dasariyah
Pada sejatinya kata “bebas” tidaklah memiliki
makna yang jelas, dari segala pemakaian kata ini terlihat bahwa kata “bebas”
ini bisa menunjukan kenyataan-kenyataan yang berbeda-beda, bahkan dapat
bertentangan dengan satu sama lain, namun segala kenyataan itu ditunjukkan
dengan satu kata yang sama, yakni dalam keadaan tiadanya penghalang, paksaan,
beban atau kewajiban. Dan dalam hal
inilah yang merupakan arti paling umum dan mendasar yang sekiranya di miliki
oleh istilah “kebebasan”. Oleh karena itu dalam memaknai arti bebas tidaklah
dalam satu sisi saja, akan tetapi dari berbagai aspek.
A.
Ketidak
jelasan
Dalam hal ini kata “bebas” sangatlah memiliki
makna kata yang berlainan dari berbagai contoh kata yang ada seperti “lapar”,
“uang”,”dll”, di karenakan kata “bebas” disini, tidaklah jelas artian katanya
apabila tidak ada keterangan tambahan[1]. Dalam
contohnya pemaknaan kata “lapar”, dalam kata tersebut sangatlah dapat di pahami
dengan cepat, karena apabila kita di datangi orang yang kemudian orang tersebut
berkata “saya lapar”, maka kita akan dapat langsung memahami arti dari kata
tersebut, akan tetapi apabila kita di tangi kemballi oleh seseorang kemudian
dia berkata “saya bebas”, maka kita belum bisa menangkap dengan jelas apa
maksud dari perkataan tersebut, kita hanya bisa menerka dan menduga saja atas
kata yang ia lontarkan kepada kita, entah ia bebas karena telah di lepaskan
dari penjara? Atau terbebas dari hutang-hutangnya?.
Maka dengan kalimat “saya bebas” maka belum
dapat dikatakan suatu kata yang jelas artinya, yang mana kata tersebut
sangatlah sedikit sekali penjelasanya, bahkan hamper sama sekali tidak
memberikan artian yang jelas. Kalimat ini
dapat mempunyai bermacam-macam makna atau arti, dan semua arti tersebut mungkin
terjadi akan tetapi manakah artian yang sebenarnya dalam memaknai artian
tersebut. Dan untuk mengetahui kemungkinan arti mana yang pembicara maksud,
dalam hal ini kita harus di beritahu olehnya dari hal-hal apa yang membuat dia
berkata hal tersebut atau hal-hal apa yang membuat dirinya terbebas, dan ia
harus mengemukakan segala hal yang bersangkutan dengan kata “bebas” tersebut,
agar pemaknaan katanya menjadi jelas atau perkataan bebas tersebut memiliki
arti yang jelas.
B.
Kenyataan
yang berbeda-beda
Dalam bukunya Freedom, A New Analysis, Maurice Cranston,
memberi beberapa contoh bagaimana perkataan “bebas” yang satu yang dapat
menunjukkan bermacam-macam kenyataan, karena bersifat cukup instruktif[2]:
Contoh Pertama: Tulisan “bebas” di
pintu kamar kecil di gedung-gedung umum (hotel, kantor, restoran, dll), maka
maksud dari perkataan tersebut adalah bahwa saat ini ruangan atau kamar yang
bertuliskan bebas berarti kosong, atau tidak ada orang di dalamnya. Akan tetapi di negeri Inggris atau eropa apabila terdapat tulisan
“free” pada pintu-pintu semacam itu, maka yang dimaksud adalah orang tersebut
boleh masuk secara gratis, tanpa membayar. Maka kata “bebas” di sini berarti
“bebas dari biyaya”.
Contoh kedua: Pemakaian istilah “kebebasan” oleh Lord Acton
di satu pihak dan Jean-Jacques Rousseau di lain pihak. Dalam bukunya History
of Freeddom, Lord Acton melukiskan sejarah bangsa manusia denga
memandangnya dari sudut perjuangan manusia untuk memperoleh kebebasan, dalam
pandangan ini kebebasan bukan sesuatu yang sudah di miliki manusia demi kodrat,
melainkan sesuatu yang diperjuangkan olehnya. Akan tetapi Rousseau memulai
bukunya Du Contrat Social dengan kalimat yang terkenal, yaitu: “Manusia
telah terlahir dalam kebebasan, akan tetapi di mana-mana ia terbelenggu[3]”.
Seandainya perkataan “bebas” hanya mempunyai
satu arti saja, maka Acton dan Rousseau bertentangan pendapatnya mengenai suatu
fakta, akan tetapi justru karena perkataan “bebas” dapat mempunyai berbagai
arti, dan sesungguhnya mereka hanya memakai kata “kebebasan” dalam arti yang
berlainan, dan ini lah yang kita sebut kenyataan yang berbeda.
C.
Tiadanya
penghalang atau kewajiban
Dari beberapa contoh yang telah di paparkan
sebelunya, dapat di artikan bahwasanya arti dari kata “bebas” dan “kebebasan”
baru menjadi jelas apabila di katakana beberapa kata pengikat atau kata yang
membantu untk memperjelas maksud dari kata-kata tersebut. Oleh karena itu dapat
di simpulkan bahwa kata “bebas” pada umumnya dan pada dasarnya ialah tiadanya
penghalang atau pembatas, paksaan atau halangan, beban atau kewajiban, dan
kesimpulan itu akan tetap berlaku, jikalau orang tersebut lebih suka menekankan
“bebas untuk” dari “bebas dari”. Kebebasan
untuk berbuat sesuatu pada dasarnya dimungkinkan oleh kebebasan dari apa yang
menghalangi orang berbuat demikian.
Maka tepatlah apa yang di katakana Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia untuk menjelaskan arti kata “bebas”, yakni:
1.
Lepas
sama sekali (tidak terlarang, terganggu dsb, sehingga boleh melakukan apapun
dengan leluasa).
2.
Lepas
dari (kewajiban, tuntutan dsb, dalam artian tidak terikat atau terbatas).
3.
Merdeka
(tidak diperintah dsb).
Dan dalam merenungkan arti dan makna kebenasanya, manusia tidak
berhenti pada arti yang paling umum dan medasar, dan telah di kembangkan dalam
artian-artian khusus, yang akan saya bahas setelah ini.
2.
Arti-arti Khusus
Berlainan dengan kebebasan ala burung yang dapat
terbang dengan bebasnya, ataupun bebas ala anak kecil yang masih bebas dari
tanggung jawab, terdapat juga kebebasan dalam arti yang lebih luhur dan khusus
manusia. Makhluk infra human tidak memiliki kebebasan dalam artian khusus ini,
arti-arti yang saya maksudkan adalah kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi,
kebebasan sebagai sifat kehendaka, dan akhirnya kebebasan dalam arti sosio
politik[4].
A.
Kesempurnaan
Eksistensi[5]
Jikalau dikatakan bahwasanya setiap manusia
dalam lubuk hatinya yang paling dalam pastinya mengidam-idamkan kebebasan bagi
dirinya sendiri, maka yang di maksudkan dengan pernyataan ini bukanlah
kebebasan dalam artian “lepas dari segala kewajiban ataupun kekhawatiran dan
tangguang jawab”, melainkan kebebasan sebagai makna keberadaan kita selaku
manusia.
·
Kemandirian
sebagai manusia
Manusia, baik perorangan maupun bangsa, merasa terdorong oleh
kecenderungan yang tiada habisnya untuk melaksanakan diri. Tujuan kecenderungan
ini ialah kemerdekaan, otonomi[6],
kedewasaan. Cita-cita kepribadian yang merdeka dan berdiri sendiri itulah yang
di maksudkan dengan kata “kebebasan” dalam arti leluhur. Kebebasan dalam artian
khusus ini tidaklah terlepas dari dari kebebasan dalam arti umum, yakni tiada
paksaan, halangan atau beban. Arti yang khusus ini, kesempurnaan eksistensi,
merupakan pengkhususan dari arti umum.
·
Beberapa
contoh
Untuk lebih menjelaskan arti kebebasan sebagai
tujuan eksistensi manusia, perlulah lebih mengkongkritkan “beraneka ragam
alienasi” tadi yang menghalangi manusia mencapai tujuannya, di karenakan
tiap-tiap arti kebebasan hanya dapat di mengerti secara tepat jikalau sudah
menjadi jelas dari penghalang macam apakah orang itu bebas.
Contoh: yaitu seseorang yang betul-betul ahli di bidangnya,
misalnya seorang tukang kayu yang sudah berpengalaman. Dibandingkan dengan sang
ahli ini, maka pemuda yang baru menjadi muridnya dan yang masih hijau dalam
pekerjaannya, harus dikatakan “masih budak” dalam arti: masih serba tergantung
pada guru dan pada peralatanya. Dalam keadaan ini, si anak yang murid itu masih
asing bagi dirinya sendiri sebagai bakat tukang kayu. Ia masih di kuasai oleh
kekuatan asing, oleh kenyataan yang di luar dirinya sendiri, yakni oleh sang
guru dan peralatanya. Sebaliknya orang yang ahli dan telah banyak makan garam,
ia tidak lagi bergantung kepada siapapun dan ia lebih banyak berdiri pada
kakinya sendiri[7].
·
Bidang-bidang
kebebasan (sebagai pelaksanaan diri)
Sebagaimana yang telah di jelaskan dari contoh
di atas bahwa manusia dapat mengejar pelaksanaan diri atau kedewasaan rohani
itu di bergai bidang kehidupan. Istilah
dan ide “kebebasan” di pergunakan untuk mengungkapkan kemandirian manusia di
segala bidang hidupnya, tetapi terutama untuk menunjukkan puncak-puncak
tertinggi hidup moral dan beragama.
Bila sekarang ini keinginan akan kebebasan
merupakan daya pendorong yang begitu besar, bila kemerdekaan dijunjung tinggi,
bila pembebasan diperjuangkan di berbagai macam bidang, maka istilah “bebas”
dan “merdeka” di sini kirannya harus diartikan kearah kesempurnaan eksistensi.
B.
Kebebasan
Kehendak
“Bebas” dalam arti khusus yang kedua, dipakai
untuk menunjukkan suatu sifat yang, menurut banyak filusuf dari zaman kuno
sampai dengan masa kini dimilki oleh kehendak manusia.
·
Oto-determinasi
yang terbatas
Harus diakui bahwa “oto-determinasi”, artinya penentuan diri oleh
diriku sendiri, dan hanya berlaku di dalam batas-batas tertentu dan tidak
absolut[8].
Jadi, dalam arti khusus ini, “kebebasan” merupakan suatu kemampuan manusia,
khususnya kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karyanya.
Maka Thomas Aquinas, memandang kehendak bebas sebagai kemapuan untuk mengambil
keputusan dan dengan demikian menentukan apakah kita akan bertindak atau tidak.
·
Hubungan
dengan arti-arti lain
Arti khusus yang kedua ini tidaklah terlepas dari arti umum dan
dasariah. Bila kemauan manusia disebut “bebas” maka yang di maksudkan ialah
tiadanya paksaan atau halangan dari pihak luar (diluar kemaunan itu), sehingga
dengan sendirinyalah ia berbuat dan bertanggungjawab untuk memperkembangkan
eksistensinya[9].
Dalam artian tersebut, kebebasan manusia
bukanlah tujuan melaikan suatu sarana, yang mana sarana ini diperuntukkan bagi
pembebasan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi pelaksanaan dirinya
dengan sepenuhnya. Maka untuk dibebaskan atau membebaskan diri dari segala sesuatu yang mengikat suatu
kebabasan, maka di perlukan sekurang-kurangnya kemampuan untuk menilai situasi
hal tersebut, sambil membandingkannya dengan apa yang sebenarnya dicita-citakan
sebagai kesempurnaan eksistensi. Hanya
dengan kemampuan semacam itulah manusia dapat memberi arti dan arah kepada
perbuatan yang di lakukannya dalam situasi hidupnya. Kemampuan yang sering
diistilahkan sebagai “liberium arbitrium” itu merupakan sarana untuk mencapai
kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi.
Dan pada sejatinya bahwasanya kebebasan
kehendak tidak berarti kesewenang-wenangan atau bertingkah, bernuat apa saja
sesuka hati, mengikuti naluri secara buta, membuang jauh segala tanggung jawab.
Akan tetapi bukan hal semacam itulah yang dimaksudkan dengan
kebebasan kehendak. Dan pada sejatinya pula kebebasan kehendak justru berperan
sebagai prinsip keteraturan, keterarahan dan keterlibatan. Kebebasan tersebut
mencegah kita diombang-ambingkan oleh hal ihwal kehidupan, sebab di mungkinkan
olehnya mempergunakan semua ihwal itu demi perwujudan nilai-nilai kepadannya.
C.
Kebebasan
dalam Arti Sosio-politik
Pada akhirnya istilah “kebebasan” dipakai juga
untuk menunjukkan kepada syarat-syarat fisik, social dan politik yang harus
terpenuhi supaya manusia dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret
kebebasannya dalam artian yang pertama dan kedua tadi, yakni kesempurnaan
eksistensi dan kebebasan kehendaknya. Dan
mengingat syarat yang harus terpenuhi itu bukan hanya satu, maka orang biasannya
memakai istilah “kebebasan” dalam arti bentuk jamak “the democratic liberties”.
·
Kebebasan-kebebasan
demokratis
Yang termasuk dalam kebebasan dalam kebebasan demokratis yaitu
kebebasan berpikir, bertempat tinggal dan perpindah, kebebasan beragama, kebebasan
pers, dan lain sebagainya. Dan dalam pentingnya kebebasan demokratis ini
dirumuskan dengan jitu oleh Bung Hatta, ketika menyambuk sewindu surat kabar
“Indonesia Raya”. Pada kesempatan itu, Bung Hatta berkata, antara lain:
“Delapan tahun sebenarnya belum berarti dalam usia surat kabar. Di
negeri-negeri lain ada surat kabar yang telah beratus tahun umurnya. Tapi bagi
“Indonesia Raya” usia delapan tahun pada akhir 1957 ini mengandung arti
tersendiri. Ini menunjukkan bahwa ia lahir sebagai pembawa Negara Indonesia
yang kemerdekaannya dan kedaulatannya diakui internasional. Dengan lahirnya
setelah pemulihan kedaulatan, maka “Indonesia Raya” adalah sebagai symbol
suasana polotik baru, yang sesuai dengan alam merdeka. Tujuan perjuangan
kemerdekaan selama itu dimasa hindia belanda bukanlah semata-mata kemerdekaan
manusia dari segala penindasan. Manusia Indonesia harus bebas dari kemiskinan
dan kesengsaraan. Ia harus bebas mengeluarkan pendapatnya, ia harus cepat
bergerak, dan mantap hak-hak asasinya seperti yang dijamin oleh UUD. Tujuan
Indonesia merdeka ialah demokrasi seluas-luasnya, demokrasi politik maupun
ekonomi[10].
Dalam teks ini M. Hatta menyebutkan berbagai “kebebasan” yang
bersifat syarat, entah bidang fisik, entah bidang ekonomi, entah di bidang
sosio-politik (bebas mengelurkan pendapat).
·
Kebebasan
yang bersituasi dan berkondisi
Kebebasan dalam artian yang ketiga ini bertalian erat dengan fakta
bahwa kebebasan dalam arti pertama dan kedua tadi adalah kebebasan yang
menjelma dan ser-situasi/kondisi. Karena kejasmanian kita, maka kebebasan
insani bukanlah kebebasan mutlak, bukan tak terbatas kemampuan kretifbya,
melainkan kebebasan dalam situasi tertentu dan pada hakikatnya terbatas.
Situasi ini bersifat raung dan waktu, bersifat sejarah. Maka dari itu dalam
melaksanakan kebebasan dalam artian yang pertama dan ke dua tergantung kepada
lingkungan fisik, ekonomi, social, politik, dan historis.
·
Kebebasan dan hukum
Membicarakan hubungan antara paham kebebasan
dalam arti sosio-logik ini di satu pihak dan dunia hukum dilain pihak, kita
harus membedakan abtara paham kebebasan yang bersifat “hukum kodrat” atau “hak
asasi manusia”, dengan paham kebebasan yang bersifat ‘hukum positif”.
·
Kebebasan dan hak asasi manusia
·
Kebebasan dan hak-hak kebebasan
3.
Arti Deskriptif dan Emosional
Dalam hal ini kata-kata tidak hanya berfunsi
menyampaikan informasi objektif kepada orang yang disapa, tetapi juga
mengungkapkan sikap hati dan perasaan subjektif orang yag menyapa, dan bahkan
untuk menimbulkan sikap/perasaan tertentu pada orang yang disapa. Sejauh sebuah
perkataan menyampaikan informasi dengan melukiskan kenyataan kurang lebih
objektif, perkataan itu mempunyai arti deskriptif, dan sejauh perkataan itu
mengungkapkan atau menimbulkan perasaan, maka perkataan tersebut mempunyai arti
emosi, entah ekspresi emosi, atau evokasi emosi[11].
Dalam suatu contoh, perkataan “libur” misalnya mempunyai arti deskriptif, yakni
tiadanya acara sekolah, kantor, pabrik, dll yang biasanya memberikan kesibukan
atau pekarjaan. Dan perkataan “libur” dalam artian emosiaonal, yang mana
perkataan ini menyebabkan perasaan senang, rasa lega.
Berkenaan dengan arti emosional perlu dicatat
bahwa perasaan yang diekspresikan atau dimunculkan oleh sebuah perkataan memang
dapat bersifat positif. Akan tetapi ada juga kata-kata yang sebaliknya
merupakan ungkapan perasaan negatif atau menimbulkan rasa kuranng enak.
Mengenai kata “bebas” dan “kebebasan” harus
dicatat bahwa arti deskriptifnya berubah-ubah menurut situasi dan konteksnya,
sedangkan arti emosi sendiri cenderung untuk tetap sama, yakni mngungkapkan dan
menimbulkan perasaan yang menyenangkan.
Bab III
Penutup
1. Kesimpulan
Kebebasan manusia merupakan kenyataan majemuk
yang terdiri dari tiga komponen dasar, yakni:
a. Kedewasaan rohani sebagai kesempurnaan eksistensi yang mandiri.
b. Penetuan diri melalui putusan nilai yang bebas (kebebasan kehendak).
c. Syarat-syarat kebebasan di bidang fisik,sosial, ekonomi, dan poitik.
Ketiga komponen ini sagatlah berhubungan erat
antara satu dan yang lainnya dan juga saling menunjukkan sebagai berikut:
·
Kebebasan sebagai kedewasaan rohani merupakan
tujuan sendiri dari hidup manusia.
·
Kebebasan kehendak sebagai “oto-determinasi”
merupakan jalan subjektif ke arah tujuan tersebut, “jalan”, karena bersifat
sarana, bukan tujuan subjektif, karena subjek insani sendiri harus merintis dan
menempuh jalan ini.
·
Kebebasan sosial dan politik menunjukkan
syarat-syarat atau sikon objektif kehidupan di pelukan demi pembebasan,
artinya: syarat-syarat ini harus dipenuhi supaya manusia dapat mencari tujuan
hidupnya dengan jalan penentuan diri.
Daftar Pustaka
Syukur. Dr. Nico, Filsafat Kebebasan,
Yogyakarta, (Penerbit Kanisius), Cet. Pertama, 1988.
Lubis, Mochtar Catatan Subversif, Jakarta
1980.
H. Bergson, Time and Free Will, London-New
York (G. Allen dan Unwin) 1971,
A. Dondeyne, Geloof en Wereled, Antwerpen
1963, (patmos).
M. Cranston, Freedom. A New Analysis, London
(longmans) 1967.
Kamus Besar Bahasa Indonesia and Wikipedia Bebas.
[1]. Dr. Nico Syukur, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta, (Penerbit
Kanisius), Cet. Pertama, 1988, hlm 40.
[3]. Kontrak Sosial, Jakarta (Erlangga) 1986. Lihat juga, The Essential
Rousseau, New York (mentor book) 1974, hlm. 1-124: “The social Contract or
the Principles of Political Right”.
[4]. Untuk uraian fasal dua ini, lihat. A. Dondeyne, Geloof en Wereled, Antwerpen
1963, (patmos), hlm. 140-146.
[5]. Eksistensi adalah kata yang berasal dari bahsa latin yaitu existere,
yang memiliki arti: muncul, ada, timbul, dan berada. Kemudian hal ini melahirkan
empat penjelasan baru tentang eksistensi, antara lain: 1. Eksistensi adalah apa
yang ada. 2. Eksistensi adalah apa yang memiliki. 3. Eksistensi adalah segala
sesuatu yang di alami dengan penekanan bahwa sesuatu itu ada. 4. Eksistensi
adalah kesempurnaan.
[6]. Dalam bahasa yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos.
Autos berarti sendiri dan Namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga
dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk
membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri.
[7]. Dr. Nico Syukur, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta, (Penerbit
Kanisius), Cet. Pertama, 1988, hlm 48.
[9]. Dr. Nico Syukur, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta, (Penerbit
Kanisius), Cet. Pertama, 1988, hlm 52.
[11]. Dr. Nico Syukur, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta, (Penerbit
Kanisius), Cet. Pertama, 1988, hlm 63.
Komentar
Posting Komentar